Sebagai seorang teknokrat, gaya kepemimpinan Jokowi tak jauh beda dengan era Orde Baru. Dalam menciptakan kebijakan instrumental pemerintahan misalnya, Jokowi menghidupkan kembali gaya teknokrasi Soeharto dengan konsep “developmentalisme”-nya. Ia memproyeksikan hampir seluruh kebijakan pada orientasi ekonomi pembangunan.
Bedanya, Jokowi hidup di era ekonomi neoliberal atau pasar bebas dan demokrasi populis. Corak pembangunan neoliberal, dengan konsep negara harus terbuka selebar-lebarnya kepada mekanisme pasar, seringkali justru brutal dalam berbagai praktiknya. Ambil contoh misalnya, bagaimana saat ini negara begitu ramah terhadap investasi dan investor, baik asing maupun dalam negeri sendiri.
Kita dapat mengamati, orientasi pasar bebas ini lebih bersifat menguatkan kelas menengah dan tentu saja kaum pemodal. Klaim-klaim kemajuan infrastruktur memang tak bisa diabaikan, tetapi faktanya, puluhan kasus terjadi di mana rakyat menderita dalam skala besar. Mahalan, sebagian berujung pada tragedi berdarah akibat rakyat bersikeras mempertahankan tanah-tanah mereka yang akan digusur.
Peristiwa ini paling tidak, terjadi di bawah kebijakan yang ditandatangani atau dalam hal lain direstui oleh Jokowi. Umumnya, Jokowi membuat sebuah skema makro untuk merancang seluruh kebijakan pembangunan ekonominya. Rakyat kecil, dengan demikian, kurang menjadi pertimbangan dalam menjalankan proyek raksasa berskala besar itu, sehingga banyak rakyat dirugikan secara sepihak.
Dalam orientasi ekonomi pembangunan, Jokowi sebenarnya menjadi pelengkap atau menggenapi proyek-proyek SBY di era sebelumnya, yang memulai dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (disingkat MP3EI). MP3EI adalah sebuah pola induk perencanaan ambisius dari pemerintah Indonesia untuk dapat mempercepat realisasi perluasan pembangunan ekonomi dan pemerataan kemakmuran agar dapat dinikmati secara merata di kalangan masyarakat.
Wujud MP3EI ini tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011. Program ini merupakan agenda besar yang dicanangkan di era SBY. Selanjutnya percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi ini akan didukung penuh berdasarkan potensi demografi dan kekayaan sumber daya alam, serta dengan keuntungan geografis masing-masing daerah.
Namun banyak proyek-proyek tidak selesai di era SBY dan keberadaan Jokowi saat ini adalah pelengkap dari kisah proyek-proyek yang mangkrak itu. Tentu saja untuk kemudian digenapi Jokowi dengan kisah barunya yang berujung pada “keberhasilan”.
Jelas, gaya teknokrasi di bawah pemerintahan Jokowi sekarang ini terlihat relatif lebih solid dan fair. Karena melibatkan hampir semua elemen dan sumber daya; seperti peran intelektual, birokrat, militer, kaum akivis, sampai tokoh agama. Beda dengan era Orde Baru, di mana peran militer jauh lebih mendominasi. Bahkan, banyak aktivis yang kritis kala itu dibungkam, para intelektual ditutup mulutnya dan juga sedikit sekali peran tokoh agama.
Ini menunjukkan bahwa betapapun ingatan kita masih sangat tajam tentang memilukannya gaya kepemimpinan era Orde Baru kala itu, Jokowi dapat menbuktikan bahwa teknokrasinya lebih “pastisipatif” dan “populistik”. Artinya, Jokowi mampu meredam kesan otoritarianisme dengan melibatkan berbagai elemen yang juga ikut serta dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Meski demikian, jika melihat dari sudut implementasi ekonomi pembangunannya, seperti proyek infrastruktur dan pembangunan yang lain, ada semacam kesan yang begitu jelas di mana rakyat terdampak jarang sekali dilibatkan. Fakta ini pada gilirannya dapat melegitimasi satu pandangan bahwa ternyata gaya teknokrasi Jokowi secara otomatis bisa dan punya watak meng-eksklusi.
Akibat terlalu fokus pada kebijakan “devolopmentalisme”nya, seperti Orde Baru, Jokowi terkesan abai terhadap orientasi ekonomi seperti Kedaulatan Pangan dan ekonomi berbasis rakyat. Justru yang terlihat agaknya berorientasi pada akumulasi dan ekonomi yang melahirkan konglomerasi, bukan distribusi dan orientasi anti-kapitalisme oligarkis.
Setiap kebijakan yang kurang berpihak kepada rakyat haruslah dikoreksi. Dalam bahasa lain, gaya teknokrasi Jokowi yang mungkin berlebih-lebihan harus diredamkan, atau kalau perlu dihentikan jika memang sama sekali tak berpihak pada rakyat kecil. Kita dan rakyat secara luas, juga perlu menjinakkan keliaran nafsu akumulasi para pengusaha dan pejabat parpol di sekitar Jokowi.
Kita tidak boleh menjadi pelindung bagi kepentingan-kepentingan mereka, yang tentunya akan semakin menyengsarakan rakyat kecil ke dalam krisis. Juga, kita harus mampu meredam ekses kebijakan Jokowi. Jika membatalkan skema makro ekonomi yang neoliberal itu tak bisa dilakukan, maka cara lainnya adalah selalu mengawal setiap kebijakan Jokowi agar lebih fokus pada rakyat kecil dan memihak mereka yang tertindas.
Orang-orang disekitar Jokowi juga beragam, mereka para politisi, pemodal dan oligarkis. Tak jarang juga, mereka adalah orang-orang yang tak henti-hentinya berpikir tentang kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Maka menjadi tugas kita semua, sebagai rakyat kecil, untuk selalu mengawal dan bersikap kritis terhadap pemerintah. Tidaklah mungkin membiarkan begitu saja suatu kebijakan, jika kebijakan itu tidak berpihak kepada rakyat dan naasnya justru menguntungkan para pengusaha.
Terakhir, kita perlu membangun sebuah gagasan filsafat ekonomi-politik secara kolektif, baik pada level pemerintahan paling bawah sampai ke pusat. Yakni, sebuah kekuasaan politik yang berorientasi pada pemerataan, kemakmuran, kesejahteraan, dan mampu menciptakan suasana kebahagiaan kepada seluruh lapisan masyarakat. Dan, mendorong pemerintah agar selalu bersikap adil dan amanah. (*)
BACA JUGA RUU KPK Adalah Bukti Betapa Progresifnya DPR dan Presiden Kita atau tulisan Rohmatul Izad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.