Jogja Tetaplah Kota Terbaik untuk Ditinggali, sekalipun Mukanya Berair karena Banjir, dan Penuh Jerawat Berbentuk Tukang Parkir Liar

3 Wisata di Jogja yang Kelihatan Menarik di TikTok, tapi Aslinya Biasa Saja kuliah di Jogja

3 Wisata di Jogja yang Kelihatan Menarik di TikTok, tapi Aslinya Biasa Saja (Fauzan Azizi via Unsplash)

Akhir minggu lalu, saya dan istri akhirnya bisa malam mingguan lagi di Jogja. Tempat kami bertemu, jatuh cinta, memutuskan untuk menjalani hidup bersama, dan akhirnya mengikatnya dalam pernikahan. Tak mengagetkan jika selalu ada pembicaraan untuk kembali ke Jogja, agar kami tak lagi LDM, dan bisa mengeksplorasi banyak kemungkinan yang pernah kami bicarakan.

Tapi Jogja tak lagi seperti yang kami kenal. Setidaknya, istri saya kaget melihat begitu banyak klinik kecantikan hanya di sepanjang jalan depan YKPN Seturan saja. Tempat makan juga kelewat banyak. Istri saya memang tak sering ke Jogja, terakhir Desember lalu, tapi itu pun sudah banyak berubah.

Saya yang masih bekerja di Jogja saja tak bisa mengenali kota yang sudah saya tinggali selama 14 tahun belakangan. Tiap saya berangkat mini soccer, saya hampir selalu menemui tempat baru, dan perubahan baru yang sering bikin saya kaget.

Yang lebih aneh lagi, Jogja yang sudah jauh dari apa yang saya kenal, tetap saja punya satu hal yang tak berubah, bahkan sejak 14 tahun yang lalu: tempat terbaik untuk ditinggali dan menghabiskan hidup.

Apanya yang baik dari semua ini, batin saya.

Jogja tempo doeloe

Dulu, saya sempat hidup di Seturan. Seturan yang dulu saya tinggali, jauh, jauh berbeda dari yang kalian lihat sekarang. Jalanannya begitu buruk, begitu banyak kios sepatu KW, serta tak banyak tempat keren berdiri. Tempat yang paling ramai ya Outlet Biru. Di tempat itulah banyak mahasiswa Jogja berusaha jadi keren dengan baju yang entah bagaimana kualitasnya, serta sepatu yang jelas akan bau setelah kamu pakai sebulan.

Gejayan pun tak mengenal kemacetan separah sekarang. Dulu waktu saya ngekos di daerah Kaliwaru (belakang Pakuwon), tak sampai 10 menit, saya sudah bisa sampai ke UNY. Babarsari… well, dulu dan sekarang sama aja sih. Kayaknya.

Kalian mungkin tak akan percaya yang saya bilang selanjutnya, tapi, Jalan Kaliurang dari Kentungan ke Kehutanan UGM, dulu sama sekali tak macet. Saya jarang merasakan macet, agak macet cuman di sore hari. Memang berangsur macet setelah itu, tapi masih bearable dan tidak bikin muntab seperti sekarang.

Tapi tentu sekarang keadaannya berbeda.

Gejayan adalah kekacauan. Jalan Kaliurang adalah tempat orang berlomba jadi menyebalkan. Seturan, well, Seturan. Kita tak mendapat vibes Jogja yang dulu bikin orang jatuh hati. Temaram lampu jalanan jadi tak lagi menyenangkan karena tiba-tiba ada Pajero yang merasa jadi pusat dunia. Malioboro, yah, begitulah.

Jogja tak lagi menyenangkan. Apalagi buat orang seperti saya, yang sudah belasan tahun di sini, menyaksikan ia berubah pelan-pelan. Seperti melihat orang yang bikin terpesona, pelan-pelan berubah jadi orang yang baiknya dilempar batu bata.

Baca halaman selanjutnya

Berubah ke arah yang seharusnya

Berubah ke arah yang memang seharusnya

Tapi saya memerhatikan (lebih tepatnya mengingat) wajah bahagia istri saya ketika menyusuri Jogja, makan di warung ramen, dan ngopi di coffee shop baru di daerah Sorowajan. Dia bahagia. Kawan-kawannya bilang kafenya menyenangkan, tak seperti kafe-kafe yang dulu disambangi, dan yang berdiri di Jogja.

Perubahan ini nyatanya tak selalu buruk. Atau memang, jangan-jangan, perubahan ini tak buruk. Tapi, untuk orang yang memilih untuk disergap perasaan romantisasi, kota ini baiknya tetap jadi yang dulu.

Saya merasa lama-lama saya malah jadi orang yang sama sekali tak asik. Jadi si paling Jogja. Jadi gatekeeper yang merasa bahwa Kota Istimewa ini sebaiknya tetap pada kondisi yang saya kenal ketika pertama kali jatuh cinta.

Padahal bisa jadi, for better or worse, Jogja memang harusnya jadi begini. Memberikan yang orang-orang inginkan. Atau hanya menyesuaikan orang-orang yang ada di dalamnya, dan tak lagi peduli pada fosil-fosil seperti saya yang kelewat berisik ingin ia jadi apa adanya.

Tetap patut untuk dicinta

Saya tak bilang Jogja sekarang dalam kondisi yang terbaik. Jelas, jauh dari apa yang bisa disebut baik malah. Parkir liar yang kelewat merajalela, banjir, kemacetan, tak ada hal yang bagus dari itu. Tapi perubahan yang terjadi, bisa jadi, adalah perubahan yang memang seharusnya Jogja lakukan.

Saya membayangkan, parkir liar ini akhirnya ditata. Kemacetan bisa diurai. Harga properti bisa ditekan. Dan, tak lagi ada banjir. Saya kira, Jogja malah bisa jadi kota yang begitu menyenangkan bagi saya. Lagi pula, tak pernah ada ruang bagi manusia yang terjebak pada nostalgia.

Pada akhirnya, Jogja tetaplah kota yang begitu pantas untuk dicinta. Meski mukanya berair karena banjir, penuh bopeng karena kemacetan, dan jerawat berbentuk tukang parkir, kota ini tetap bikin orang jatuh cinta, apa pun alasannya.

Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Jogja, Kota yang Keburukannya (Entah Kenapa) Selalu Dimaafkan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya

Exit mobile version