Berubah ke arah yang memang seharusnya
Tapi saya memerhatikan (lebih tepatnya mengingat) wajah bahagia istri saya ketika menyusuri Jogja, makan di warung ramen, dan ngopi di coffee shop baru di daerah Sorowajan. Dia bahagia. Kawan-kawannya bilang kafenya menyenangkan, tak seperti kafe-kafe yang dulu disambangi, dan yang berdiri di Jogja.
Perubahan ini nyatanya tak selalu buruk. Atau memang, jangan-jangan, perubahan ini tak buruk. Tapi, untuk orang yang memilih untuk disergap perasaan romantisasi, kota ini baiknya tetap jadi yang dulu.
Saya merasa lama-lama saya malah jadi orang yang sama sekali tak asik. Jadi si paling Jogja. Jadi gatekeeper yang merasa bahwa Kota Istimewa ini sebaiknya tetap pada kondisi yang saya kenal ketika pertama kali jatuh cinta.
Padahal bisa jadi, for better or worse, Jogja memang harusnya jadi begini. Memberikan yang orang-orang inginkan. Atau hanya menyesuaikan orang-orang yang ada di dalamnya, dan tak lagi peduli pada fosil-fosil seperti saya yang kelewat berisik ingin ia jadi apa adanya.
Tetap patut untuk dicinta
Saya tak bilang Jogja sekarang dalam kondisi yang terbaik. Jelas, jauh dari apa yang bisa disebut baik malah. Parkir liar yang kelewat merajalela, banjir, kemacetan, tak ada hal yang bagus dari itu. Tapi perubahan yang terjadi, bisa jadi, adalah perubahan yang memang seharusnya Jogja lakukan.
Saya membayangkan, parkir liar ini akhirnya ditata. Kemacetan bisa diurai. Harga properti bisa ditekan. Dan, tak lagi ada banjir. Saya kira, Jogja malah bisa jadi kota yang begitu menyenangkan bagi saya. Lagi pula, tak pernah ada ruang bagi manusia yang terjebak pada nostalgia.
Pada akhirnya, Jogja tetaplah kota yang begitu pantas untuk dicinta. Meski mukanya berair karena banjir, penuh bopeng karena kemacetan, dan jerawat berbentuk tukang parkir, kota ini tetap bikin orang jatuh cinta, apa pun alasannya.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jogja, Kota yang Keburukannya (Entah Kenapa) Selalu Dimaafkan




















