Setelah hidup dan tinggal berpuluh-puluh tahun di Jogja, saya meyakini bahwa tanah kelahiran ini memang punya keistimewaan sendiri. Belum lagi, romantisasi media yang menyatakan bahwa kota ini spesial karena murahnya biaya hidup, kota kebudayaan, sampai warganya yang penuh unggah-ungguh. Saya jadi cinta buta terhadap kota kelahiran sendiri.
Namun, semua itu berubah ketika kenyataan menampar saya. Ya, pada kenyataannya, selama ini saya nggak pernah beranjak akibat kecintaan buta itu tadi. Saya jadi seperti “katak dalam tempurung”. Ah, betapa polosnya saya. Saya bahkan selalu menolak dengan keras segala ulasan yang mengatakan bahwa Jogja sedang nggak baik-baik saja.
Beruntungnya, saya punya kesempatan untuk mengeksplor dan keluar dari zona nyaman. Saya merantau untuk bekerja dan melihat sisi lain dunia. Setelah saya pikir-pikir, ternyata Jogja nggak seistimewa itu.
Biaya hidup sama saja
Entah siapa yang memulai, dan saya pun awalnya meyakini, branding biaya hidup murah itu sudah nempel banget. Setelah merantau ke beberapa daerah, ternyata pengeluarannya segitu-segitu, alias sama saja.
Masalahnya, UMR Jogja itu kurang manusiawi. Bayangkan saja. Kalian punya pengeluaran yang nggak beda jauh dengan kota-kota besar lainnya. Kemudian, jam kerja harian juga sama. Tapi, hasil jerih payah yang kita hasilkan benar-benar berbeda jauh.
Semua terasa nggak adil karena saya nggak bisa menabung ketika bekerja dan diupah sesuai UMR Jogja. Berbeda halnya ketika saya coba peruntungan di kota lain. Saya masih bisa menyisihkan sedikit untuk menabung. Kalau di Jogja? Hasil kerja keras sekadar untuk menyambung hidup saja. Ya memang pahit, tapi kenyataannya memang seperti itu.
Baca halaman selanjutnya: Jangan cinta buta sama Jogja.