Nggak mungkin langsung nrimo ing pandum
Mungkin banyak pembaca ber-KTP Jogja yang mulai mendidih dan berargumen bahwa saya kurang bersyukur. Justru apa yang saya rasakan setelah ke tanah rantauan membuat saya mengimplementasikan langsung “nrimo ing pandum” sesuai versi saya sendiri.
Keluar dari kota ini membuat saya punya pemikiran baru. Menurut saya, bagaimana kita bisa “nrimo” sesuatu, jika hasilnya nggak sesuai dengan apa yang seharusnya kita dapatkan.
Saya justru setuju dengan konsep “nrimo ing pandum”. Tapi mbok ya jangan sepolos itu dalam meyakininya. Jangan juga serta-merta kita langsung menerima ketika hasil kerja keras kita dihargai murah oleh pemangku kebijakan.
Kemudian, fasilitas umum Jogja yang kurang diperhatikan juga kita normalisasi dan percayakan pada pemerintah. Kalau ada yang kurang sesuai, mbok ayo kita suarakan.
Mari kita tetap tanamkan unggah-ungguh dan falsafah “nrimo ing pandum” tapi dengan cara yang lebih tepat. Jangan mau pasrah dan menerima kalau apa yang kita dapatkan nggak sesuai dengan hak. Bagaimana bisa kita tetap “nrimo ing pandum” ketika perut keroncongan, jalan berlubang-lubang, atau harga tanah yang semakin tak terjangkau?
Warga Jogja sendiri semakin terpinggirkan
Romantisasi Jogja justru semakin melenggangkan para investor luar untuk masuk dan mengeksploitasi kekayaan. Bagaimana nggak, mereka bisa invest dalam skala yang besar dan mempekerjakan warga asli dengan biaya sekecil-kecilnya. Belum lagi, para warganya juga menerima dengan keadaan tersebut. Sungguh surga bagi para investor.
Kalau sudah begitu, warga asli yang akhirnya kena dampaknya. Orang yang punya kantong lebih tebal bisa dengan bebas memanfaatkan hal tersebut. Lambat laun, keistimewaan Jogja bakal luntur karena orang aslinya saja punya kesempatan yang kecil untuk terlihat di permukaan.
Kota kebudayaan semakin bergeser. Tata kota nggak diperhatikan. Warganya sendiri semakin terpinggirkan.
Apa yang saya rasakan selama merantau mungkin nggak 100% valid. Tapi ya membuka mata saya bahwa sebenarnya Jogja nggak begitu istimewa. Justru karena rasa cinta tanah kelahiran sendiri, saya merasa perlu mengajak untuk tetap bersuara ketika terdapat sesuatu yang nggak sesuai. Kalau setiap mengkritik masih ada suara “KTP ngendi?”, ya siap-siap saja Jogja makin nggak beranjak kemana-mana.
Penulis: Muhammad Iqbal Habiburrohim
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.