Saya tahu betul, Jogja ini kota yang problematik. Tapi, ada perlunya juga kita melihat Jogja dari sudut yang tak rumit.
Jogja, dengan segala ketidaksempurnaannya, bagi saya masih jadi salah satu tempat terbaik untuk ditinggal. Jujur saja, mengetik kalimat tersebut adalah salah satu hal yang berat bagi saya. Sebab, beberapa waktu lalu, saya bersyukur tidak membawa keluarga ke Jogja.
Tak bisa dimungkiri memang, Jogja sekarang bukanlah kota yang menyenangkan. Kemacetan, klitih yang kembali marak, harga tanah tak masuk akal, serta vibes hidup yang entah kenapa, terasa makin cepat. Tapi bukan berarti, kota ini lantas tak pantas untuk ditinggali. Sebab, memang masih banyak alasan menyenangkan yang bisa mendorong saya untuk suatu saat nanti menjilat ludah untuk tak menetap di Jogja.
Daftar Isi
Telanjur melekat
Saya hidup di Wonogiri, yang sering saya ceritakan sebagai tempat terbaik untuk hidup. Saya tak akan menyangkal itu, sebab memang begitulah kenyataannya. Masalahnya adalah, untuk saya yang kelewat lama tinggal di Jogja, terlalu banyak hal di hidup yang sudah nyetel dengan Jogja.
Katakanlah perkara kemudahan mengakses kuliner saja deh. Oke, saya tak akan mendebatkan rasa kuliner Wonogiri vs Jogja. Tapi ya, untuk akses dan pilihan, Kota Istimewa kelewat superior. Setidaknya ya, saya bisa menggunakan diskon ShopeeFood seenak jidat di Jogja, yang hingga kini tak bisa saya akses di Wonogiri.
Itu baru perkara kuliner, yang paling sepele. Sekarang naik ke level yang agak rumit: relasi.
Relasi yang tak bisa begitu saja dilepaskan
Bukan saya tak punya kawan di kampung, tapi seperti yang saya bilang tadi, saya kelewat nyetel dengan Jogja, plus saya pun bekerja di sana. Relasi saya kebanyakan ada di Jogja, dan itu bikin saya agak ribet juga. Dan ndilalahnya lagi, relasi saya berpengaruh di pekerjaan saya.
Di usia-usia saya ini, meski kawan menyempit, tapi bukan berarti tak penting. Justru saat usia 30-an lah, kawan jadi hal yang paling penting untuk dijaga. Kewarasan hidup tetaplah bergantung pada kawan, untuk berbagi, dan mengenang sedikit kegilaan di masa muda.
Di kampung, saya tak mendapat itu. Salah saya, memang, tapi, realitasnya ini.
Saya pernah jatuh cinta pada Jogja begitu dalam
Ini hal yang menurut saya paling penting. Seburuk apa pun kenangan yang terjadi di kota ini, tetap saja ada hal istimewa yang bikin mereka susah untuk melepaskan diri.
Saya tentu termasuk. Tak sedikit kenangan buruk yang menghantui saya muncul di kota ini. Tapi lantaskah saya mau melepaskan Jogja?
Kalau iya, tentu saya tak mengetik artikel ini.
Jogja, bagi saya, adalah kota yang (tetap) indah. Sate klataknya enak, suasana di Ngaglik yang gitu-gitu aja tapi menyenangkan, kafenya banyak, Buku Mojok yang banyak diskon, serta toko-toko madura yang siap menyelamatkan perokok macam saya yang kelimpungan di tengah malam.
Alasan tersebut memang klise, dan jelas tak ada bobotnya ketimbang melihat betapa parahnya kota ini mengurus dirinya sendiri. Tapi yang namanya keindahan, ia memang tak pernah begitu rumit. Dan bagi orang yang mencintai Jogja, mereka tak butuh alasan yang begitu rumit. Jangan pernah mungkiri fakta ini, bahwa memang kota ini punya hal-hal yang pantas dicintai, dan jangan serang orang-orang yang merasa kota ini begitu mudah untuk dicintai.
Saya jelas tak sedang mengecilkan kritik-kritik pada Kota Istimewa ini. Sebab, semuanya valid dan butuh diselesaikan. Tapi tak bisa juga kita bilang kritik tersebut jadi alasan untuk menyebut kota ini sampah. Keindahan kota ini masih bisa ditemukan, dan makin terlihat jelas ketika kita jauh.
Mungkin saja, saya memang tak akan pernah tinggal di Jogja. Tapi, saya juga tak akan menganggap kota ini buruk dan makian lainnya yang begitu pilu. Sebab, pada titik tertentu, saya pernah terkesima pada lampu-lampunya yang menenteramkan.
Saya pernah jatuh cinta pada Jogja begitu dalam, dan sialnya, cinta tersebut tak pernah padam.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jogja Istimewa: Realitas atau Ilusi?