Malam saat artikel ini ditulis, Jogja sedang dingin. Bukan dingin seperti bribikanmu, tapi karena suhu 24ᵒC. Maklum, musim bediding. Cukup enak untuk jalan-jalan sekitar rumah. Kalau sampai ke jalan besar, bisa-bisa kena klitih.
Sepanjang jalan saya kepikiran. Kok bisa orang bilang Jogja itu romantis? Terlalu susah bagi saya yang terlanjur benci. Mana romantisnya? Mana Jogja yang menyenangkan? Yang ada di otak saya hanya: UMR remuk, tanah mahal, monarki ra mashok, dan tawuran suporter. Tentu saja hal itu ada di otak saya, sebab hingga sekarang, masalah itu tak berhenti dan jelas berefek ke masyarakat.
Baru 10 meter dari rumah, saya melihat Padepokan Bagong Kussudiardja. Ada baliho pengumuman pentas teater minggu lalu. Jika hari Minggu, di pendopo padepokan ada latihan tari bagi anak-anak. Tengok kanan sedikit, ada mosaik kayu ditempel di salah satu bangunan padepokan. Terdengar sayup-sayup pentas pewayangan dari radio di kumpulan ronda.
Kok bisa ada karya seni indah di kota yang merana ini? Kok mau anak-anak itu menari di daerah rawan klitih? Kok bisa bapak-bapak ronda enjoy mendengarkan cerita pewayangan ketika di luar sana ada orang mati karena tawuran suporter? Kenapa seni begitu tumbuh dari kota dengan ketimpangan sosial ekonomi tinggi?
Itulah seniman Jogja. Karya seni mereka melampaui segala nyinyiran kepada daerah istimewa.
Seniman tidak hidup untuk Jogja. Mereka sibuk dengan kreasi dan imajinasi yang susah saya nalar. Mereka terus ada dan berkarya di kota ini. Meskipun hidup mereka (mungkin) nelangsa, karya mereka tetap tumbuh seperti rumput di tengah alun-alun penuh pasir itu. Mereka bahagia membuat karya, meskipun saya sedang memaki-maki kota ini.
Maka wajar jika setiap waktu ada saja event di kota ini. Dari event besar berdana istimewa, sampai akustikan di kedai kopi sempit. Karya seni mereka terus lahir dan butuh diapresiasi. Dan Jogja hadir sebagai panggung dan galeri raksasa bagi mereka. Namanya seniman, pasti betah berada di panggung dan galeri.
Jika setiap weekend saja ada 3 event, kira-kira ada 156 kali event yang hadir di Jogja. Ada 156 kali pameran, bazaar, panggung seni, dan gigs. Itu belum termasuk live music dan event kecil-kecilan ya. Gimana tidak nyeni? Lha wong tidak ada hari tanpa event apresiasi seni.
Ketika karya seni dipamerkan, maka orang datang mengerumuni. Entah pameran di galeri, gigs, atau di tiap pos ronda. Mereka menikmati karya seni dalam atmosfer yang nyeni banget. Dan karena karya seni sangat diapresiasi di Jogja, banyak orang datang untuk menciptakan karya seni.
Jogja adalah panggung seni raksasa. Orang yang tidak diapresiasi di kampung halaman, bisa memamerkan karya seninya di sini. Dan dengan karya seni yang melimpah ruah, Jogja menjadi cantik dan romantis. Seni menjadi senyum indah dari daerah yang (saya bilang) sedang sakit ini
Meskipun jalanan rusak, klitih, rusuh antar suporter, tanah mahal, UMR rendah, air tanah tercemar, dan pemerintah yang embuh, Jogja tetap romantis.
Akhirnya saya memahami kenapa orang tetap mencintai Jogja. Mereka mencintai kota yang nyeni ini. Mereka jatuh hati pada alunan musik dan binar lukisan yang menghiasi Jogja. Saya yakin, inilah romantisnya Jogja yang ada dalam puisi Joko Pinurbo. Inilah yang membuat kangen Jogja seperti Katon Bagaskara.
Meskipun kota ini memang ambyar dalam urusan lain, tapi untuk urusan romantis tetap nomor satu. Terlepas dari upaya romantisasi yang nggapleki, ternyata memang Jogja sudah romantis. Wajar ketika orang yang nyinyir pada situasi Jogja akan tetap betah. Meskipun mereka benci pada masalah yang struktural dan kultural, Jogja masih terlalu cantik untuk ditinggalkan.
Akhirnya saya harus mengakui, saya jatuh cinta. Sakbenci-benciku pada kota ini, saya terlanjur sayang pada daerah istimewa ini. Dan saya yakin, ini juga alasan banyak orang selalu memuji Jogja.
Kuat dilakoni, nek ra kuat ditinggal ngopi. Tetep cinta, senajan Jogjaku ambyar.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jogja Istimewa: Realitas atau Ilusi?