Jogja, Kota yang Keburukannya (Entah Kenapa) Selalu Dimaafkan

3 Wisata di Jogja yang Kelihatan Menarik di TikTok, tapi Aslinya Biasa Saja

3 Wisata di Jogja yang Kelihatan Menarik di TikTok, tapi Aslinya Biasa Saja (Fauzan Azizi via Unsplash)

Jogja adalah anomali. Kota ini, sekalipun memberimu banyak luka, dan kenangan menyakitkan, kau akan memaafkannya dan tetap datang merayakan kenangan manis yang mungkin hanya sebesar biji sawi.

Kau mungkin pernah diputus pacarmu secara sepihak, melihatnya masuk kos dengan pria lain. Atau, melihat orang yang kau puja ternyata rasis dan berpanu. Atau, mungkin, cinta benar-benar jauh darimu selama di Jogja. Dilirik pun tidak, apalagi diperhitungkan.

Tapi, kau tetap datang, menyambutnya, merayakannya. Mengenang hal-hal indah, sekalipun tak pernah ada. Kau tetap melihat Tugu seakan-akan bangunan termegah. Stasiun Lempuyangan seakan-akan jadi saksi cintamu. Dan, tentu saja, kau menulis sajak angkringan, mengulang-ulangnya di media sosialmu yang hanya difollow akun bot.

Kalimat-kalimat di atas mungkin terkesan amat “taek” bagi kalian, terlebih bagi kalian yang mengenal saya. Tapi, saya serius, kota ini memang penuh keindahan, sekalipun saya mengutuknya tanpa henti.

Tak semua cinta berakhir jadi benci

Hampir sepertiga hidup saya, saya lalui di Jogja. Entah cinta atau memang tak punya keberanian untuk pergi, saya mungkin masih bertahan hingga beberapa tahun ke depan. Yang jelas, saya tahu, bahwa yang saya cari hanya bisa saya dapat di Jogja: ruang dan keberanian untuk bermimpi.

Saya datang ke Jogja pada 2011. Saya ingat betul, saya terkagum-kagum melihat Amplaz, macam beruk melihat pohon beringin. Lalu beberapa hari kemudian, saya masuk ke daerah UGM. Makin-makinlah saya kagum. Betapa udik saya waktu itu.

Tapi yang bikin saya memutuskan untuk harus kuliah di Jogja adalah ya karena kultur kampusnya. Saya dijejali ide-ide besar oleh kawan saya yang kuliah di UGM. Untuk orang kabupaten macam saya, tentu hal tersebut begitu megah. Hal-hal megah, memang mudah mengikat manusia.

Pada akhirnya, saya beneran kuliah di Jogja. Selama 7 tahun kuliah, ide-ide besar yang dijejalkan pada otak saya saat itu banyak yang tak terwujud. Tapi Jogja lah yang bikin saya berani bermimpi. Kota inilah yang memberi saya banyak pelajaran, kesalahan, penderitaan, dan cerita-cerita cinta.

Meski kini saya benar-benar ingin muntah melihat sajak-sajak yang dikeluarkan oleh akun romantisasi Jogja, saya memahami jika ada yang begitu cinta pada Jogja, dan memaafkannya meski hidupnya penuh nestapa di Kota Istimewa. Kenapa?

Sebab, dulunya, saya juga jatuh cinta. Dan tak semua cinta itu beralih jadi benci.

Baca halaman selanjutnya

Ditinggal ngangenin, ditunggoni ra marai sugih

Jogja, ditinggal ngangenin, ditunggoni ra marai sugih

Berkali-kali, saya ketemu dengan orang yang berkata, tinggal di Jogja hanya akan buat seseorang tak berkembang. Tetap di situ-situ saja, tidak menjadi apa-apa. Lucunya, hampir semuanya hingga kini masih menetap di Jogja, tanpa ada tanda-tanda pergi.

Jujur saja, saya setuju dengan pendapat tersebut. Kalau mau kaya, ya nggak di sini tempatnya. Beda cerita jika kalian kerja remote di bawah perusahaan luar negeri. Karo ngising we yo sugih. Nah kalau kerja biasa? Ya susah.

Tapi, hidup, untuk beberapa orang, tak melulu tentang kekayaan. Asalkan besok bisa makan, hal-hal menakutkan di masa depan hanyalah dongeng mengerikan yang tak perlu digenggam begitu erat.

Dan Jogja dipenuhi orang-orang seperti itu. Orang-orang yang tak peduli esok hari. Orang-orang yang mencintai malam ini, sepenuh hati. Beberapa menggenggam tangan, beberapa menggenggam buku, sisanya memegang botol, percaya bahwa kota ini akan membawa kebahagiaan.

Benar. Jogja, ditinggal ngangeni, ditunggoni ra marai sugih. Tapi, hidup tak melulu tentang kekayaan, bukan?

***

Jogja adalah anomali. Kota ini, saat kau datangi lagi, dia berubah, wajahnya penuh dengan sapuan-sapuan rias yang kau benci. Tapi di tempat-tempat yang tak lagi berdiri, kau memandangnya, mereka-reka adegan yang pernah terjadi. Dan entah kenapa, kau datangi lagi kota ini, yang memberimu duka, bahkan merasuk ke tulang.

Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Jogja Tidak Pantas Lagi Menyandang Kota Wisata dan Kota Pendidikan karena Tidak Bisa Dinikmati oleh Warganya Sendiri

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version