Jogja, ditinggal ngangenin, ditunggoni ra marai sugih
Berkali-kali, saya ketemu dengan orang yang berkata, tinggal di Jogja hanya akan buat seseorang tak berkembang. Tetap di situ-situ saja, tidak menjadi apa-apa. Lucunya, hampir semuanya hingga kini masih menetap di Jogja, tanpa ada tanda-tanda pergi.
Jujur saja, saya setuju dengan pendapat tersebut. Kalau mau kaya, ya nggak di sini tempatnya. Beda cerita jika kalian kerja remote di bawah perusahaan luar negeri. Karo ngising we yo sugih. Nah kalau kerja biasa? Ya susah.
Tapi, hidup, untuk beberapa orang, tak melulu tentang kekayaan. Asalkan besok bisa makan, hal-hal menakutkan di masa depan hanyalah dongeng mengerikan yang tak perlu digenggam begitu erat.
Dan Jogja dipenuhi orang-orang seperti itu. Orang-orang yang tak peduli esok hari. Orang-orang yang mencintai malam ini, sepenuh hati. Beberapa menggenggam tangan, beberapa menggenggam buku, sisanya memegang botol, percaya bahwa kota ini akan membawa kebahagiaan.
Benar. Jogja, ditinggal ngangeni, ditunggoni ra marai sugih. Tapi, hidup tak melulu tentang kekayaan, bukan?
***
Jogja adalah anomali. Kota ini, saat kau datangi lagi, dia berubah, wajahnya penuh dengan sapuan-sapuan rias yang kau benci. Tapi di tempat-tempat yang tak lagi berdiri, kau memandangnya, mereka-reka adegan yang pernah terjadi. Dan entah kenapa, kau datangi lagi kota ini, yang memberimu duka, bahkan merasuk ke tulang.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya