“Yogya terbuat dari pulang, rindu, dan angkringan”
Penggalan sajak Joko Pinurbo yang melegenda tersebut, telah dipajang dengan tulisan besar. Lokasinya di dekat Teras Malioboro Satu, beberapa waktu lalu atau bahkan sampai sekarang tempat itu masih menjadi tujuan wisatawan untuk berfoto ria.
Sajaknya memang benar, untuk Jogja (kita pakai Jogja saja, yang familiar. Dan tentu saja, ini mencakup seluruh DIY). Tapi, itu dulu, kalau untuk sekarang, pikir-pikir dulu deh.
Bukan meromantisasi, tapi dulu, setidaknya 13 tahun yang lalu, kondisi Jogja memang persis seperti apa yang Joko Pinurbo tuturkan. Jogja membuat saya diselimuti rindu. Dua hari berpisah dengan Jogja, bikin saya segera ingin balik ke Jogja. Alasannya tentu saja begitu klise: Jogja itu tenang, dan angkringannya ramah untung kantong pendatang seperti saya.
Tapi sekarang, saya tak bisa bilang itu masih relevan. Tidak ada niat saya mengecilkan Joko Pinurbo. Tidak, sama sekali tidak. Tapi yang terjadi sekarang adalah jauh dari apa yang beliau tuliskan dalam sajaknya. Bahkan, kota ini berhenti nyaman. Tak lagi nyaman, bahkan untuk saya yang sudah dibius hingga tulang.
Macet yang aduhai
Pikiran saya—dan mungkin orang lain, kata macet itu hanya milik Jakarta. Jogja jelas jauh dari kata macet, bahkan hampir tidak pernah macet, mentok-mentok palingan padat merayap. Daerah yang dulu kerap kita anggap macet itu paling Condongcatur dan Selokan Mataram, yag dulu mulai bersolek untuk jadi tempat nongkrong. Itu pun masih dalam taraf yang bisa dimaafkan, tidak seperti sekarang.
Kala pertama merantau di Jogja untuk waktu yang lama, saya tinggal di daerah Gamping, Sleman. Saat itu, saya menempuh pendidikan menengah ke atas di daerah Giwangan. Bayangkan sendiri, berapa jarak dari Gamping ke Giwangan, itu saja saya tidak pernah terjebak macet saat berangkat ke sekolah.
Biasanya, saya membagi tiga jalur utama menuju ke sekolah. Pertama Ringroad, itu bagi saya dulu jalur patas. Saking hapalnya, saya bisa mengira-ngira jika dengan kecepatan motor 60 km/jam, saya bisa sampai ke sekolah berapa menit. Jika lewat ringroad kuncinya harus dapat lampu hijau di pertigaan gamping, maka lampu merah Kasihan, Madukismo, Dongkelan, dan seterusnya akan dapat hijau terus. Baru akan dapat lampu merah di perempatan Imogiri Timur. Tentu ini riset yang hanya berdasarkan kebiasan selama hampir tiga tahun.
Kedua jalur utara, jalur utara ini saya gunakan ketika berangkatnya terlalu pagi. Mengapa? Jalur utara saya, itu lewat 0 KM. Baru saat saya sampai di perempatan Gondomanan, belok kanan dan seterusnya sampai ke sekolah. Jalur ini jalur santai, sambil melihat kanan kiri pemandangan Jogja di pagi hari.
Lalu jalur ke tiga adalah jalur tengah. Start dari gamping saya blusukan lewat jalan tikus, tembus perempatan Bugisan, lalu lurus lewat Jokteng (pojok beteng) kulon dan wetan dan seterusnya sampai ke sekolah. Jalur ketiga ini, jalur yang biasa saya lalui jika berangkat dalam keadaan jam nanggung, tidak terlalu pagi dan tidak terlalu siang.
Sebetulnya masih banyak, jalur-jalur tikus. Tapi ndak usah saya sebutkan, intinya kala itu mau lewat manapun saya tidak pernah merasakan macet. Ini tidak bohong. Kalau sekarang? Rasakan sendiri sensasi macet di daerah Istimewa.
Sepertinya, tak lengkap jika “mengkritik” Jogja tanpa menyenggol “kreativitas remaja”.
Baca halaman selanjutnya