Sebagai mantan mahasiswa yang sekarang sudah jadi budak korporat di Jakarta, setiap ada libur panjang, Jogja selalu menjadi top of mind. Bukan hanya saya, tapi hampir semua teman-teman saya semasa kuliah dulu, mengatakan hal yang sama.
Empat hari libur? Jogja. Ada cuti kejepit? Jogja. Bonus tahunan cair? Mungkin Bali, tapi kalau duit pas-pasan, ya tetap Jogja. Pokoknya, setiap ada tanggal merah sedikit di kalender, langsung kepikiran jalan-jalan ke sana.
Hari pertama di Jogja? Wah senangnya bukan main. Baru turun dari kereta atau pesawat, langsung ngerasa kayak protagonis di film indie yang balik ke kampung halaman setelah sekian lama merantau.
Tujuan pertama jelas: kuliner nostalgia. Misalnya, ayam geprek Bu Rum, sate klathak Pak Pong yang dulu cuma bisa dibeli kalau dapat kiriman uang dari orang tua, mie lethek se lethek rupamu, sampai burjo favorit yang penjualnya udah nggak perlu nanya lagi ke kita mau pesen makan apa, karena udah auto tahu.
Hari kedua masih semangat. Setelah perut full sama makanan yang udah lama didambakan itu, kini waktunya napak tilas tempat-tempat legendaris.
Kampus dikunjungi dengan khidmat. Walaupun begitu masuk, langsung disadarkan bahwa usia tidak bisa bohong: sekarang naik tangga ke lantai 2 aja udah ngos-ngosan. Lanjut ke kos-kosan lama. Pintu kamar masih sama, tapi sekarang isinya anak baru yang lebih segar, lebih muda, dan lebih nggak punya beban hidup.
Jogja bisa menjadi tempat yang berbeda
Lanjut main ke tempat-tempat yang dulu sering dikunjungi. Warung kopi, jalanan kampus, semuanya masih sama, tapi kok rasanya beda?
Ah, mungkin karena dulu ada temen-temen. Dulu tempat ini penuh tawa dan obrolan absurd soal apa saja. Sekarang cuma ada mahasiswa-mahasiswa yang sibuk dengan laptopnya. Asem, mulai merasa tua dan nggak relate.
Lalu tibalah hari ketiga. Bangun tidur, merenung. “Hari ini ngapain, ya?”
Baca halaman selanjutnya: Tempat makan nostalgia sudah didatangi semua…