Tempat makan nostalgia sudah didatangi semua. Kampus sudah dikunjungi, foto di depan gerbang dan plang fakultas sudah ada. Nggak ada agenda yang jelas. Mau jalan-jalan ke tempat wisata mainstream kok males, karena terakhir ke sana udah nggak bisa nikmatin suasana gara-gara rame banget.
Mau main ke teman lama, eh ternyata kebanyakan dari mereka udah pindah kerja ke kota lain. Tinggal yang betah dan memang asli penduduk Jogja. Tapi masalahnya, mereka sibuk kerja. Ternyata, meskipun Jogja masih sama, tanpa orang-orang yang dulu berbagi kisah di sini, rasanya jadi beda.
Akhirnya, hari ketiga dihabiskan dengan kegiatan-kegiatan random. Duduk di kafe sendirian sambil liatin orang lewat. Ngelamun di trotoar lesehan sambil dengerin pengamen. Beli kopi susu kekinian yang dulu nggak ada waktu masih kuliah. Sebenernya bisa aja main ke pantai atau naik ke Merapi, tapi males. Jauh. Capek. Akhirnya balik ke penginapan lebih awal, nge-scroll Instagram sambil bertanya-tanya, “Kenapa liburan yang awalnya penuh semangat bisa berubah jadi kayak ini?”
Kini semua sudah berubah
Hari keempat? Udah nggak sabar balik ke Jakarta. Bukan karena nggak cinta lagi, tapi karena Jogja adalah cerita yang kita bangun di dalamnya.
Kota ini jadi ngangenin karena dulu ada teman-teman. Ada masa-masa penuh perjuangan. Tapi begitu waktu berlalu, semuanya berubah. Dan itulah bagian dari hidup.
Poinnya adalah, menurut saya, Jogja itu sama aja kayak kota lain. Ada jalan, ada warung, ada abang-abang jual cilok.
Yang bikin Jogja istimewa itu kenangan, orang-orangnya, dan momen-momen absurd di sana. Begitu orang-orangnya udah nggak di situ, kita cuma bisa menatap nanar sambil mbatin ”Dulu kalau pulang malem masih ada yang ngajakin makan burjo. Sekarang? Mau ngajakin siapa? Mas burjo-nya aja udah pada pensiun.”
Makanya, jangan sedikit-sedikit impulsif mau liburan ke Jogja. Pikirkan baik-baik, kamu mau kemana dan ngapain aja, daripada kamu nanti bingung sendiri dan malah membuat Jogja terasa tidak istimewa.
Penulis: Ken Elsaning Savitri
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Malioboro Kini Tak Lagi Sama dan Kata “Istimewa” bagi Jogja Hanya Pencitraan Semata
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















