Jogja itu indah dan selalu punya daya tarik tersendiri. Ada suasana yang (mungkin) sulit atau nggak bisa ditemukan di kota lain. Entah karena makanannya, budayanya, atau sekadar rasa “rumah” yang sering diceritakan orang-orang. Tetapi menurut saya, itu semua hanya berlaku selama kamu diam di rumah. Begitu keluar rumah, semua cerita itu bisa runtuh seketika. Terganti dengan kemacetan, klakson yang bersahut-sahutan, dan pisuhan sepanjang jalan.
Saya nggak tahu pasti sejak kapan kondisi ini jadi begitu parah. Karena saat pertama kali saya menginjakkan kaki di Jogja pada 2021 lalu, kondisinya nggak se-chaos ini.
Akan tetapi belakangan, setiap saya ke mana saja, melewati jalan mana pun—salah satunya di sepanjang Jalan Kaliurang—rasanya sudah seperti menjalani ujian hidup. Mau pagi, siang, sore, malam, bahkan dini hari sekalipun, jalanan Jogja nggak pernah benar-benar sepi. Selalu saja ada titik macet yang muncul tiba-tiba, tanpa alasan yang jelas.
Saya sampai mikir, datang dari mana semua orang-orang ini? Kenapa semuanya tumpah di jalan yang bernama Kaliurang ini? Apakah pusat dunia sudah pindah ke Kaliurang Jogja?
Tukang parkir menambah keruwetan jalanan Jogja
Kalau sudah macet, biasanya ada pelengkap penderitaan. Sebutlah, tukang parkir. Mereka selalu muncul entah dari mana dan selalu ada di mana-mana. Tiap sudut Jogja rasanya ada tukang parkir.
Kadang mereka mengatur kendaraan seenaknya dan nyebrangin mobil dan motor tanpa memperhitungkan arus lalu lintas. Alih-alih membantu, seringnya yang mereka lakukan malah bikin tambah ribet. Atau lebih parahnya sampai ke tahap membahayakan orang lain. Soalnya gini, kadang saking semangat mengatur parkir dan nyeberangin kendaraan lain, kendaraan di belakang para tukang parkir ini harus rem mendadak karena tiba-tiba disuruh berhenti. Kalau ada tabrakan beruntun apa nggak ngeri tuh?
Baca halaman selanjutnya: Perilaku pengendara yang bikin misuh…




















