Gesekan suporter klub sepak bola Solo dengan Jogja minggu kemarin membuat orang-orang bertanya-tanya. Apakah memang ada kebencian yang dipelihara? Apakah rivalitas ini punya akar? Apakah orang sipil juga mempunyai pandangan yang sama dengan suporter klub sepak bolanya?
Dan dalam tulisan ini, sebagai orang Solo, saya akan menjawab hal tersebut.
Saya lahir dan besar di pinggiran Kota Solo, tepatnya di kawasan satelit Solo, Kartasura. Kartasura memang masuk daerah Sukoharjo, namun, karena begitu dekat dengan Solo, jadi ya, kami mengaku berasal dari kota tersebut ya sah-sah saja.
Walaupun bukan orang ber-KTP Solo, saya bangga bisa membangga-banggakan Solo. Tiap pergi keluar kota dan ditanya dari mana, dengan bangga kujawab, “Dari Solo.” Bahkan sampai saat ini saya masih menganggap Solo itu bak cinta pertama. Mudah bikin nyaman dan sulit dilupakan. Bagaimana nggak bikin nyaman, lha wong hampir semua kebutuhan murah meriah dan mudah didapat.
Masih ingat betul saat kuliah dulu, saya dan teman-teman kerap nongkrong di salah satu HIK (Hidangan Istimewa Kampung) di seberang kampus UNS, namanya HIK Pak Hana. Dengan modal Rp5.000 saja, sudah dapat nasi kucing, gorengan, es teh, dan quality time ngobrol ngalor ngidul sampai tengah malam. Kenyamanan Kota Solo ini juga dibuktikan dengan predikat kota ternyaman di Indonesia tahun 2018, versi Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) dengan indeks penilaian 66,9 persen. Rasa-rasanya enggan untuk meninggalkan cinta pertamaku ini. Tapi karena “butuh”, saya harus merantau ke Jogja. Ya, Daerah Istimewa Yogyakarta atawa DIY yang dana istimewanya mencapai Rp1.32 triliun itu.
Hingga saat ini, saya sudah tinggal di Jogja selama lebih dari tiga tahun. Ingat betul bagaimana perasaanku saat pertama kali berangkat ke Jogja untuk menetap. Dengan antusias, saya merasa sangat siap untuk merantau dan menjajal hal baru di kota yang kata Joko Pinurbo terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan itu. Begitu menginjakkan kaki di kamar kosan yang masih kosong melompong, saya membulatkan tekad untuk menjajal sesuatu yang baru. Menjadi pedestrian salah satunya.
Banyak yang menyangsikan niat baikku, “Yakin? Di Jogja transportasinya nanti susah, lho.” Ya, saya paham transportasi umum di Jogja masih belum optimal, tapi setidaknya tidak seruwet Jakarta. Bagiku Trans Jogja jalur 2A dari Malioboro ke daerah XT Square saja sudah cukup untuk menyokong mobilitasku yang nggak padat-padat amat. Dengan Trans Jogja yang lewat dekat kos, saya sudah bisa jalan-jalan ke Malioboro kalau bosan, ke Perpustakaan Kota pas butuh suasana baru untuk bekerja, sekalian mampir Togamas dan Siomay Telkom. Atau, saat saya harus memperpanjang SIM ke Satpas Polresta Yogyakarta. Dan, yang paling saya sukai dari Jogja adalah banyak komunitas seru yang mendukung kegemaranku. Banyak pameran dan pertunjukkan seni, acara komunitas seperti diskusi film, jalan-jalan sejarah, hingga berkebun bareng. Semua itu sangat mudah ditemui di Jogja.
Selain itu, yang membuatku betah adalah lingkungan sosial di Jogja yang tak jauh berbeda dengan lingkungan rumahku. Yang orang kadang tak sadari, orang Jogja dan Solo itu sama ramahnya. Terbukti saat mbak kosku kena Covid-19 di saat kasus lagi panas-panasnya, warga di sekitar kos tidak merundung kami, tapi malah sangat suportif. Setiap pagi, ada saja centelan kresek berisi sayur mayur, lauk dan kebutuhan lain di gerbang kos. Manis banget ya?
Di saat sedang asyik-asyiknya menikmati Jogja dengan segala bumbu-bumbunya itu, saya kaget dengar kabar geger suporter bola, Solo vs Jogja lagi. Segerombolan pengendara motor yang mengaku sebagai suporter bola asal Solo membuat macet kawasan Tugu Jogja. Mereka bak berpesta pora di Tugu Jogja sambil nggleyer motor. Urusan geger suporter bola ini memang sudah dari dulu ada, tapi kejadian kali ini agak di luar nalar: Apa urusannya Tugu Jogja sama bola?
Namun bola panas sudah telanjur bergulir. Orang-orang bertanya-tanya, apakah kebencian juga dirasakan oleh orang sipil? Jawabannya ya, tentu saja tidak. Contohnya ya saya sendiri.
Saya tidak mewarisi kebencian tersebut. Malah, saya hidup dan mencari nafkah di kota ini. Dan saya yakin, banyak juga orang Jogja yang mencari penghidupan di Solo. Keberadaan Prameks, menurut saya, adalah pertanda bahwa kedua kota ini sebenarnya saling membutuhkan dan bergantung. Cuman nggak keliatan aja. Menurut saya loh.
Justru saya yakin, yang gelut itu juga nggak paham-paham amat kenapa mereka gelut. Mungkin alasan mereka adalah saling membalas perlakuan yang pernah diterima. Atau tidak, saya kurang tau.
Saya tidak membenci Jogja. Masalah-masalah yang ada di kota ini tak bikin saya punya cukup alasan untuk membenci. Saya justru jadi korban sentimen tersebut. Sebab, saya berpotensi kena sweeping suporter yang kerap dilakukan setelah ada konflik. Bagaimana bisa saya dan orang Solo lain bisa mewarisi kebencian jika justru kami ikutan jadi korban?
Maka, jika saya ditanya apakah saya (dan orang-orang yang saya kenal) membenci Jogja, seperti suporter saling benci satu sama lain, saya akan jawab dengan tegas: tidak. Saya tidak diwarisi dan tidak ingin diwarisi kebencian yang sama. Sebab, kebencian tersebut, justru kerap bikin saya meringkuk takut di kosan gara-gara hal yang tak saya lakukan.
Dan apa yang lebih menyedihkan ketimbang menderita atas hal yang tak pernah kita pahami?
Penulis: Siwi Nur
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jogja (Sudah Tidak) Istimewa, Gunungkidul (Tetap) Merana