Jogja Membuat Saya “Menyesal” dan Kelak Ingin Kembali untuk Mencoba Lagi

Jogja Bikin Saya Menyesal dan Ingin Kembali untuk Mencoba Lagi (Pexels)

Jogja Bikin Saya Menyesal dan Ingin Kembali untuk Mencoba Lagi (Pexels)

Bagi saya, status Jogja Istimewa itu masih relevan dan bukan isapan jempol belaka. Saya merasakan hal itu sejak masih kuliah di UGM (2027) hingga sekarang. Selama menjalani proses, suka dan duka saya nikmati seperti makan rujak.

Saya angkat kaki dari Jogja pada 2022 yang lalu, tepatnya di bulan April. Rasanya sedih juga setelah menetap di sana selama 5 tahun. Dan setelah 3 tahun, saya masih berandai-andai, kapan bisa mengunjungi Jogja kembali.

Selayaknya manusia biasa, saya memiliki daftar penyesalan akibat saya tidak mencoba saat menjadi mahasiswa. Memang, penyesalan selalu datang di akhir. 

Kabar baiknya, manusia bisa belajar dan memperbaiki diri sebelum ajal tiba. Melalui artikel ini, saya menguraikan 3 penyesalan yang ingin saya tunaikan semisal kembali ke kota gudeg sebagai mahasiswa pascasarjana.

#1 Di Jogja, mahasiswa harus lebih berani bertanya

Malu bertanya, sesal kemudian. Pepatah ini sepertinya relevan kepada siapa saja yang malu bertanya. 

Nah, sejauh pengalaman saya dulu, tidak banyak mahasiswa yang berani bertanya, apalagi kritis, kepada dosennya. Ada banyak ketakutan yang saya tahu. Misalnya, takut pertanyaan mereka tidak relevan, takut dikira tidak berbobot, sampai takut mendapat respons negatif. Padahal, bertanya adalah kunci untuk membuka tabir ilmu.

Ketahuilah, manusia selalu hidup dengan ketidaktahuan bukan dengan kebodohan. Makanya, kelak, kalau bisa kuliah lagi di Jogja, saya akan mengumpulkan keberanian diri untuk bertanya demi menemukan jawaban yang mencerahkan. Menurut saya, ini penting untuk perkembangan mahasiswa.

#2 Mencoba ikut lomba

Sebelumnya, saya kerap melewatkan kesempatan ikut lomba ketika kuliah di Jogja. Saat itu, saya takut gagal. Kini, saya pikir kembali, bahwa keberanian tidak akan mengurangi umur. Makanya, saya akan lebih berani untuk ikut lomba yang bermanfaat.

Beberapa lomba yang kerap ada di Jogja adalah lomba menulis esai, desain grafis, dan sebagainya. Urusan menang atau kalah itu nomor sekian. Saya menyadari peluang mengikuti kompetisi seperti itu makin menipis karena pergeseran orientasi hidup. Sarjana mengukir reputasi dan memori. Pascasarjana mengejar stabilitas karier. Begitulah kira-kira.

Baca halaman selanjutnya

Berani ngobrol, semoga

#3 Berani mengobrol dengan orang random

Mungkin poin terakhir ini merupakan perkara remeh. Namun, beda cerita dalam pandangan saya. 

Jujur, selama di Jogja, saya mengalami sedikit kesulitan memulai obrolan dengan orang lain. Barangkali semua karena sikap saya yang kurang menyukai basa-basi dan sulit menciptakan obrolan yang menarik buat lawan bicara. Secara tidak langsung, hal ini berpengaruh dengan tingkat percaya diri dan kualitas hubungan sosial.

Setelah memikirkannya secara mendalam, mengobrol dengan orang random di Jogja itu ada enaknya. Kamu bisa ngobrol apa saja dengan siapa saja dan mendapatkan insight tertentu. Sudah banyak mahasiswa yang merasakan manfaat itu. Jadi, saya rasa, ini bagus perkembangan jiwa sosial saya.

Itulah 3 penyesalan yang dulu belum sempat saya lakukan ketika kuliah di Jogja. Kelak, ketika bisa kembali ke kota pelajar ini, 3 hal di atas akan saya lakukan. Sederhana saja, tapi bermakna bagi saya.

Penulis: Genta Ramadhan

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Jogja Terbuat dari Tumpukan Kebohongan yang Terlanjur Dipercaya Banyak Orang

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version