Jogja Tidak Lagi Pantas Menyandang Status Istimewa. Saatnya Kembali ke Jogja Berhati Nyaman

Sudah Saatnya Jogja Meninggalkan Kata “Istimewa” dan Kembali ke “Berhati Nyaman” Mojok.co

Sudah Saatnya Jogja Meninggalkan Kata “Istimewa” dan Kembali ke “Berhati Nyaman” (unsplash.com)

Merindukan Jogja Berhati Nyaman setelah bosan dicekoki kata “istimewa” yang nyatanya nggak istimewa-istimewa amat. 

Sekali lagi saya harus membahas soal Jogja. Namun, tulisan kali ini tidak berangkat dari semrawutnya Kota Gudeg dengan status istimewanya. Tulisan ini berangkat dari kerinduan saya akan “Jogja Berhati Nyaman”. 

Kalimat itu mungkin terdengar seperti moto suatu kota pada umumnya. Namun, menurut saya dan mungkin kebanyakan orang, moto itu benar-benar indah, menyimpan kenangan sekaligus harapan akan daerah impian. Daerah nyaman tanpa harus meributkan dan meromantisasi berlebihan status istimewanya. 

“Jogja Berhati Nyaman” yang mulai memudar

“Jogja Berhati Nyaman” sebenarnya moto milik Kota Jogja. Namun, banyak orang yang menyamakan moto ini sebagai miliki Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Mungkin karena maknanya yang indah dan ngena ya. Itu mengapa, banyak orang berharap “Berhati Nyaman” menjadi spirit bagi Kota Jogja dan DIY. 

Secara resmi, ” Jogja Berhati Nyaman” adalah sebuah singkatan. Kepanjangannya adalah bersih, sehat, indah, dan nyaman. Sebuah moto yang menggambarkan daerah impiah banyak orang. Apakah moto ini benar-benar dihidupi? Terutama setelah Jogja, baik secara kota maupun provinsi, sibuk dengan gelar istimewa?  

Seiring memudarnya moto ini di tengah warga, saya merasa Kota Gudeg semakin jauh dari spirit “Berhati Nyaman”. Ambil salah satu contoh, kebersihan. Hingga kini persoalan sampah di Jogja menjadi permasalahan yang tidak kunjung menemukan titik terang. Persoalan sampah benar-benar menjadi momok dan cibiran setelah TPST Piyungan ditutup. 

Bukan hanya sampah sehari-hari, kota ini semakin nggak estetik karena banyak sampah visual. Apalagi menjelang pemilu seperti sekarang ini. Banyak sekali baliho dan videotron berisi wajah-wajah yang asing dan janji-janji palsu.  

Lantas, bagaimana dengan “nyaman”, kata paling catchy dalam moto tersebut? Ya kalian bisa lihat sendiri. Dari sudut pandang wisatawan, banyak hal yang membuat Jogja nggak lagi nyaman. Masih ingat kan kasus harga nuthuk, parkir liar, scam pusat oleh-oleh, hingga minimnya toilet umum? Kalau dari sudut pandang warga, jangan tanya lagi. Perkara klitih, pemukiman mahal, sampai gesekan sosial hanya buih kecil dari samudra masalah Jogja.

Status istimewa yang terlalu diromantisasi

Saya sering bertanya-tanya, apa istimewanya Jogja? Apakah sekadar status otonomi khusus yang bikin daerah lain iri? atau warga yang benar-benar hidup dalam keistimewaan? Jawabannya sih jelas yang pertama.

Status daerah istimewa memang lebih banyak bicara tentang hak khusus yang diberikan kepada Kasultanan Yogyakarta. Termasuk hak khusus dalam pengelolaan lahan dan penerimaan dana kebudayaan bertajuk Dana Keistimewaan. Memang ada amanat untuk tetap mengutamakan kesejahteraan masyarakat, tapi hasilnya bisa kalian dilihat sendiri. Jauh dari kata sejahtera.

Sementara itu, warganya tidak benar-benar hidup dalam keistimewaan. Tidak seperti lirik lagu karya Jogja Hiphop Foundation, “Istimewa negerinya, istimewa orangnya”. Nyatanya, warga di daerah ini hidup dalam ketimpangan dan upah rendah. Menurut saya istimewanya Jogja selama ini hanyalah status, tapi tidak pernah benar-benar dirasakan oleh rakyatnya dalam kehidupan sehari-hari. 

Lupakan “istimewa”, Jogja perlu kembali ke “Berhati Nyaman”

Daripada bicara tentang status istimewa yang “hanya” urusan pemerintah, bagaimana kalau kita kembali menghidupi nilai-nilai pada moto “Berhati Nyaman”. Mewujudkan tatanan yang tidak hanya bicara status, tapi juga kehidupan warganya. Kembali pada hidup dengan nyaman mulai dari lingkungan sampai dalam hati.

Ah, sebegitu rindunya saya dengan moto “Jogja Berhati Nyaman”. Rindu Jogja yang dulu dielu-elukan sebagai daerah yang seperti terasnya surga. Biarkan saja status istimewa jadi omongan segelintir penggiat dan monarki. Saya dan banyak orang, ingin Jogja yang berhati nyaman. Tidak hanya kotanya, saya berharap semua merasakan kenyamanan mulai dari mereka yang tinggal di Merapi sampai Pantai Selatan, dari Desa Banyuasri sampai Congot, semuanya!

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Kenia Intan

BACA JUGA Malioboro Jogja Kini Menjadi Wujud Ketidakadilan bagi Warga Lokal ketika Jalan Legendaris Itu Menjadi Milik Wisatawan dan Orang Penting

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version