Sudah lama saya memimpikan Jogja menjadi kota yang benar-benar hidup, di mana warganya bisa nongkrong, berdiskusi, dan menikmati kopi tanpa harus takut diusir. Namun, kenyataannya, justru banyak ruang-ruang yang seharusnya bisa dimanfaatkan malah disterilkan dengan alasan ketertiban. Yang terbaru adalah penertiban street coffee di Kotabaru.
Sebagai orang yang sering ngopi di pinggir jalan, saya tidak bisa diam saja melihat ini. Saya mulai membayangkan, jika saya seandainya menjadi Wali Kota Jogja, bagaimana saya menangani fenomena ini? Apakah saya akan ikut-ikutan menggusur dengan dalih ketertiban, atau mencari solusi yang lebih manusiawi dan masuk akal?
Daftar Isi
Kotabaru dan Fenomena Street Coffee
Kotabaru adalah kawasan yang unik. Ia punya daya tarik tersendiri karena nuansa kolonial yang masih kental, jalanan yang tenang, dan atmosfer yang nyaman untuk nongkrong. Anak muda Jogja yang bosan dengan hiruk-pikuk Malioboro sering memilih Kotabaru sebagai tempat pelarian.
Namun, sayangnya, ruang publik yang benar-benar layak untuk duduk santai dan berdiskusi itu minim. Akhirnya, anak-anak muda menciptakan ruang mereka sendiri: nongkrong di pinggir jalan sambil menyeruput kopi dari kedai street coffee yang semakin menjamur.
Ini bukan sekadar tempat ngopi biasa. Street coffee di Kotabaru telah menjadi ekosistem sosial. Orang-orang bertemu, berbincang, berbagi ide, bahkan kadang-kadang berdebat soal politik, budaya, atau masa depan negara.
Tapi tiba-tiba, pemerintah datang dengan aturan khas birokrat: street coffee dianggap mengganggu, lalu ditertibkan.
Saya paham, pemerintah pasti punya alasan. Mereka mungkin melihat aspek ketertiban, tata kota, atau keluhan dari sebagian warga. Tapi apakah solusinya harus langsung menggusur? Apa tidak ada cara lain yang lebih adil?
Jika seandainya saya Wali Kota Jogja, ini yang akan saya lakukan
Sebagai wali kota, saya tidak akan langsung mengambil tindakan yang reaktif tanpa melihat akar masalahnya. Menertibkan bukan sekadar membersihkan jalanan dari pedagang, tetapi harus mencari solusi yang adil untuk semua.
Langkah pertama yang akan saya lakukan adalah mendengarkan. Saya akan mengundang para pedagang street coffee, komunitas anak muda yang sering nongkrong di sana, dan juga warga sekitar yang merasa terganggu. Kita duduk bersama, berdiskusi, dan mencari jalan tengah.
Dari diskusi ini, saya yakin kita bisa menemukan solusi yang lebih baik dibanding sekadar penggusuran. Misalnya:
Menata ulang zona street coffee. Saya akan menetapkan area khusus di Kotabaru yang bisa digunakan untuk street coffee tanpa mengganggu lalu lintas atau warga sekitar.
Mengatur jam operasional. Mungkin ada yang merasa terganggu dengan aktivitas street coffee hingga larut malam. Maka, bisa dibuat aturan jam operasional yang adil, misalnya tutup pukul 23.00.
Menyediakan fasilitas publik yang memadai. Selama ini, anak muda nongkrong di street coffee karena tidak ada alternatif lain. Maka, saya akan mengubah taman-taman di sekitar Kotabaru menjadi ruang publik yang layak, dengan bangku, penerangan yang cukup, dan bahkan WiFi gratis.
Dengan solusi seperti ini, semua pihak bisa diuntungkan. Street coffee tetap hidup, warga tidak terganggu, dan Kotabaru tetap menjadi ruang yang nyaman untuk semua.
Jogja butuh ruang publik yang nyata, bukan sekadar wacana
Jogja sering disebut sebagai kota budaya, kota pendidikan, kota kreativitas. Tapi apakah ruang-ruang publiknya sudah benar-benar mencerminkan itu? Anak muda butuh tempat untuk berekspresi, berdiskusi, dan sekadar bersosialisasi tanpa harus selalu mengeluarkan uang banyak.
Kalau pemerintah tidak menyediakan ruang yang cukup, jangan heran kalau mereka menciptakan ruangnya sendiri—entah itu di trotoar, di parkiran minimarket, atau di emperan jalanan Kotabaru.
Sebagai wali kota, saya tidak akan menutup mata terhadap kebutuhan ini. Saya akan membangun lebih banyak ruang-ruang publik yang benar-benar bisa diakses oleh siapa saja.
Misalnya, mengaktifkan kembali taman-taman kota yang selama ini dibiarkan sepi dan tidak menarik. Membuka lebih banyak ruang diskusi di berbagai titik kota, di mana orang bisa duduk santai tanpa takut diusir. Membangun kebijakan yang mendukung ekonomi kreatif berbasis komunitas, termasuk street coffee yang sudah menjadi bagian dari budaya nongkrong di Jogja.
Saya ingin memastikan bahwa Jogja tidak kehilangan rohnya sebagai kota yang hidup dan ramah bagi siapa saja.
Seandainya saya menjadi wali kota
Jadi jika saya seandainya menjadi wali kota, bukan hanya soal mengatur lalu lintas atau membangun infrastruktur fisik. Lebih dari itu, tugas seorang wali kota menurut saya adalah memastikan bahwa kota ini bisa dinikmati oleh semua warganya.
Saya tidak ingin Jogja menjadi kota yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang punya banyak uang. Saya ingin Jogja tetap menjadi kota yang ramah bagi mahasiswa, pekerja kreatif, komunitas seni, dan semua orang yang ingin hidup dengan nyaman di sini.
Jadi, jika saya seandainya menjadi Wali Kota Jogja, saya tidak akan menggusur street coffee di Kotabaru begitu saja. Saya akan mencari solusi yang lebih manusiawi dan berkelanjutan. Karena saya percaya, kota ini bisa lebih baik jika dikelola dengan hati, bukan hanya dengan aturan kaku yang tidak memahami kebutuhan warganya.
Jogja tidak boleh kehilangan ruhnya. Dan seandainya sebagai wali kota, saya akan memastikan bahwa Jogja tetap menjadi kota yang benar-benar istimewa—bukan hanya dalam slogan, tapi dalam tindakan nyata.
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Efek Negatif Penertiban Street Coffee Kotabaru Jogja yang Pemerintah Mungkin Tidak Sadari