Dulu sekali ketika saya masih di Surabaya, saya selalu memperhatikan karakteristik lampu merah di suatu tempat. Menghitung waktu yang saya butuhkan untuk berhenti, memperkirakan pada hitungan ke berapa saya sampai, dan kira-kira saya perlu berapa waktu lagi agar segera selesai waktu menunggu saya.
Di lain waktu, saya memperhatikan karakteristik pengendara ketika berhenti di perempatan. Ada yang terlihat sangat buru-buru sekali. Mengabaikan tempat-tempat khusus untuk pengguna jalan lain. Tidak memperhatikan zebra cross, naik ke trotoar, menerobos lampu merah (yang kadang mengakibatkan kejadian fatal), hingga hal-hal konyol lainnya.
Pernah di waktu lain saya menemukan pengendara bercerita dengan teman yang diboncengnya dengan suara setengah berteriak. Ada juga yang saling pelukan, gombal-gombalan sampai yang berantem di lampu merah karena masalah asmara dan keluarga. Dan itu semua lama-kelamaan menjadi pemandangan yang jadi wajar.
Nah, di Jogja, saya menemukan pemandangan yang sedikit berbeda. Ada penambahan adegan selain yang biasa saya saksikan di perempatan di Surabaya, dulu. Yang pertama adalah adegan pengamen yang dengan keahlian seadanya mencoba merayu para pengguna jalan yang sedang berhenti di perempatan agar sekiranya diberi uang sebagai tanda apresiasi atau sekedar rasa kasihan. Yang kedua adalah adegan pengamen yang mengarah kepada peminta-minta karena tidak memiliki keahlian khusus untuk menarik minat dan simpati pengguna jalan yang berhenti di perempatan saat lampu merah muncul. Dan adegan itu, walau lama-lama saya rasakan sebagai kewajaran baru seperti ketika saya mewajarkan hal yang sama di Surabaya.
Setiap kali saya melewati lampu merah di Jogja, saya selalu tidak lupa memperhatikan kondisi sekitar. Di sana-sini biasanya, ada saja hal yang akan sangat rugi jika saya lewatkan. Apalagi jika saya sedang tidak buru-buru. Rasanya segala sesuatu di perempatan adalah cerita yang saling simpul membentuk sebuah warna. Dan itu perlahan membuat saya jadi bimbang.
Saya mulai berpikir bahwa kejadian yang sama, walau mungkin tidak tahu kapan terealisasi, bisa saja terjadi di kampung saya nun jauh di sana, di Wakatobi. Saya berpikir, jika kondisinya masih seperti sekarang ini, bisa saja impor pemikiran menjadi peminta-minta atau pengamen dengan keahlian seadanya ini muncul di perempatan (dengan lampu merah tentu saja) di Wakatobi.
Yang paling pertama, yang paling saya bayangkan adalah para pengamen dengan keahlian khusus. Di Wakatobi, saya mungkin (suatu waktu) akan menemukan seorang pengamen tidak hanya dengan keahlian seadanya seperti yang saya lihat di Jogja. Di Wakatobi, para pengamen ini adalah orang-orang dengan keahlian memetik gitar yang paling mumpuni, menari, atau bahkan berdansa yang kualitasnya sundul langit.
Orang-orang yang baru menyaksikan para pengamen jalanan ini akan dengan sengaja mengeluarkan hape mereka, alih-alih uang sebagai tanda bahwa mereka sangat menikmati suguhan lagu atau tarian dari sang pengamen. Para pengendara akan dengan senang hati merekam para pengamen ini, mengunggahnya ke TikTok dengan tulisan-tulisan yang membuat para pengamen segera dipanggil masuk TV saking viralnya.
Untuk para pengamen yang tujuannya sekadar meminta-minta tanpa keahlian khusus, mereka justru akan menjadi orang-orang dengan depresi tinggi. Keinginan keluarga agar mereka bisa mendapat banyak pemasukan, malah tidak digubris oleh pengendara. Dan itu bikin mereka muring-muring tiap kali pulang dari mengamen di perempatan. Belum lagi harus menerima kenyataan bahwa mereka juga jadi bahan gunjingan tetangga.
Namun, satu hal yang saya syukuri hingga saat ini bahwa hal yang saya bayangkan itu masih jauh dari yang mungkin akan terjadi seperti di Jogja, di Pulau Jawa. Di Wakatobi, sejauh yang saya tahu, lampu merah baru hanya ada satu, di Wangi-Wangi, di ibukota kabupaten. Di Kaledupa, Tomia dan Binongko, lampu merah sepertinya hanya akan jadi utopia.
Banyak sekali pertimbangannya jika mau bikin lampu merah ada di tiga “pulau tiri” itu. Salah satu di antaranya adalah bahwa rerata jalan di Wakatobi sana hanya mengenal rute timur-barat atau utara-selatan. Satu jalur yang loss doll. Jadi saya kadang berpikir, di bagian mana orang-orang di Wakatobi membutuhkan lampu merah?
Bagian lain yang menjadi sesuatu yang bikin banyak orang selalu ketawa tiap kali obrolan saya menyangkut-nyangkut hal ini adalah bahwa rasa terima kasih saya kepada orang-orang di Wakatobi yang sampai beberapa waktu ke belakang masih belum dikuasai kendaraan bermotor. Walau pada hakikatnya, sudah mulai ramai kendaraan bermotor. Tidak lagi seperti dahulu kala. Kendaraan bermotor memang ada, tapi tidak semasif yang saya lihat di kota-kota di Pulau Jawa. Pemikiran liar saya mengenai para pengamen dan peminta-minta di perempatan yang ada lampu merahnya terbantah, paling nggak sementara ini.
Pun jika pada suatu saat akan ada pengamen atau peminta-minta di perempatan, mereka hanya akan menanggung kecewa. Pasalnya, orang-orang yang lewat di perempatan orang-orang itu saja. Belum lagi dengan keterbatasan jumlah kendaraan ini, jalanan menjadi sangat lengang dan sepi. Mereka yang menunggu di perempatan untuk mengamen akan frustasi dan nganggur banget saking lamanya motor-motor lewat di “ladang” mereka. Sejam bisa hanya 1 atau 2 saja motor saja yang melintas.
Pada akhirnya, saya sangat yakin para pengamen dan peminta-minta di Wakatobi akan mengambil langkah paling strategis dalam dunia per-ngamen-an, pensiun dini. Dan itu adalah pilihan paling realistis.
BACA JUGA Di Wakatobi, Hape Mito Paling Berjaya karena Punya Fitur yang Paling Dibutuhkan atau tulisan Taufik lainnya.