Seorang kawan saya anggap tengah merusak tatanan dunia, karena ia berpendapat jika Mi Gacoan adalah bakmi yang tak ada tandingannya. Rasanya pengin sekali mengamplas lidahnya. Namun, perlahan saya paham soal keanekaragaman makhluk ciptaan Tuhan. Saya menerima apa yang ia sampaikan sebagai persoalan selera dan sudut pandang pandang semata. Meski remuk, ya udah lah terima aja.
Begitu juga saat saya membaca pernyataan punggawa timnas, Bung Asnawi. Ingin rasanya bisa memahami pernyataannya soal Pak Iwan Bule yang dianggap terbaik bagi PSSI. Awalnya, dilihat dari sudut pandang mana pun, saya tetap masih belum bisa legawa dan memaklumi pernyataan Bung Asnawi itu. Terbaik? Jika sosok Om Ibul adalah yang terbaik, saya tak berani membayangkan seperti apa yang menjadi sosok terburuk. Jika ada yang komen bahwa yang terbaik tak perlu yang terburuk, maknanya ada otak yang lupa dimasukkan ke batok kepala.
Entah apa yang membuat Asnawi berani punya argumen semacam itu. Saya tahu, dihubungi via video call memang menyenangkan, apalagi oleh seorang pria superior dan sehebat Pak Iwan Bule. Saya yang pernah bersalaman sama pak camat saja bangganya bukan main, apalagi Asnawi. Apakah ini semacam euforia semata, semacam rasa senang berlebihan karena bisa mengenal lebih dekat seorang pembesar dunia sepak bola? Saya kira itu sekadar teori liar saja, bukan kenyataan.
Saya tahu, Pak Ibul bukan orang biasa pada umumnya. Namun, soal dianggap yang terbaik, saya kira kita perlu mempertanyakannya. Asnawi adalah manusia biasa, tapi ia seorang pemain di timnas sepak bola Indonesia. Tentu dirinya adalah salah satu orang yang seharusnya paling paham dengan keadaan sepak bola. Pendapatnya sudah pasti didasari oleh kecintaan yang kuat pada PSSI. Rasa cinta yang sepertinya sulit dipahami oleh banyak orang, termasuk saya.
Sejauh ini, saya belum melihat perubahan nyata dari dunia sepak bola kita. Dari masalah klasik pengaturan skor sampai kesejahteraan pekerja di dunia sepak bola, semua masih mengambang dan belum jelas arahnya. Liga kita sangat amat tak tertata, jika tak boleh dibilang amburadul. Liga yang seharusnya menjadi panggung sepak bola, nyatanya masih meninggalkan problema di sana sini. Apalagi jika kita membicarakan ekosistem yang baik bagi atlet usia muda. Jauh, masih terlalu jauh dari kata cukup. Bahkan, jelek saja belum. Dari dulu hingga sekarang, saya lihat PSSI hanya berfokus pada soal bikin poster dan berfoto dengan para pemain timnas. Bukan hal buruk, meski kurang terasa manfaatnya bagi kita.
Apalagi baru saja terjadi tragedi kemanusiaan yang menyebabkan banyak nyawa hilang. Dan peristiwa memilukan itu justru terjadi di era kepemimpinan Om Iwan Bule. Jika mau dianggap sebagai terbaik, apakah kejadian itu bisa ditepiskan begitu saja dari rekam jejak PSSI?
Saya kira bisa!
Pada kenyataannya, PSSI dan ketuanya masih getol mengaku tak bertanggung jawab pada pertandingan berdarah itu. Panpel adalah pihak yang dianggap paling bertanggung jawab. Meski saya sendiri juga masih bingung soal tugas PSSI. Bukankah PSSI adalah lembaga yang ikut mengatur dan memonitor segala aktivitas persepak bolaan Indonesia? Mohon dikoreksi jika saya salah.
Namun, karena itulah saya anggap Asnawi benar perihal pernyataannya tempo hari. Asnawi amat bijak, Iwan Bule memang yang terbaik untuk PSSI dan segala kepentingannya. Soal kalau ternyata Iwan Bule diminta mundur sama TGIPF, itu udah beda cerita.
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Iwan Bule, Ketua PSSI Terbaik Sepanjang Masa