Melunakkan konsep jihad tanpa dibarengi mengendurkan “seruan berperang melawan kekafiran” adalah keniscayaan. Pemerintah harusnya tahu benar bagaimana mengarahkan potensi jihad umat untuk kemajuan negara. Jangan sampai umat sebagai berkah demografi justru berakhir menjadi bencana.
Di ruang-ruang kelas, jihad dapat disulap untuk menggerakkan turbin pembangunan. Sudah waktunya agama juga mampu jadi modal alamiah sebuah negara. Waktunya naik kelas.
Bisakah jihad dikonversi dari seruan berperang untuk membela agama menjadi seruan untuk membangun negara? Sulit menjawabnya, belum memaparkan yang kita maksud pun kita sudah akan digulung dengan tuduhan hendak menjauhkan agama dari umat.
Beberapa waktu lalu sempat beredar isu penghapusan tentang materi perang dalam sejarah kebudayaan islam. Sayang penyampaiannya kurang baik, sehingga sementara publik membacanya sebagai upaya sistematis untuk menghapus materi yang tidak bisa dipisahkan dari fakta sejarahnya. Padahal sasaran yang dituju sebenarnya sangat bagus: menghapus kesan islam sebagai agama yang diajarkan dengan jalan pedang.
Secara psikologis sebenarnya sangat bisa dipahami. Karena sering kali orang terjebak, teraduk emosinya, terprovokasi saat orang menarik kata, misal “Perang Badar” untuk mengobarkan semangat yang konteks kejadiannya sangat jauh berbeda. Kita pernah menyaksikannya dalam kompetisi politik di negeri ini. Seruan jihad pada akhirnya sering menjadi teriakan yang terlalu mudah dan bahkan murah untuk menggerakkan masyarakat yang pada dasarnya memang taat pada orang yang dianggap menjadi panutan dan pimpinan.
Secara umum, Islam Sunni yang dianut mayoritas penduduk negeri ini sebenarnya sudah tidak banyak membahas dan menekankan soal perang-perang yang terjadi di masa nabi. Perang yang terjadi di masa itu memang seperti “kewajaran” sejarah. Bagaimana satu “agama baru” bertahan untuk survive.
Sayangnya, saat orang ingin mengejar kebesaran Islam, memori paling melekatnya justru masa kejayaan, Daulah Utsmaniah, Ottoman. Negeri yang kekuatan militernya selama ratusan tahun menjadi momok dunia. Kebesaran seperti Ottoman itukah yang dibutuhkan orang Islam secara umum?
Bisa. Tapi korbannya akan banyak sekali dan tidak akan pernah sebanding dengan apa yang dicita-citakan. Keinginan besar kita untuk memupus kesan bahwa Islam adalah agama yang menebrikan rahmat kepada alam akan semakin menjauh.
Kita jauh lebih membutuhkan dunia modern yang disokong semua telapak kaki dan tangan penduduknya. Kita jauh lebih membutuhkan tempat yang tidak religius dalam pikiran dan cita-cita, tetapi religius dalam setiap perilakunya.
Jihad yang perlu dikembangkan bangsa ini adalah jihad untuk memupus isu kesejahteraan masih timpang, pendidikan masih rendah, dan kerusakan lingkungan masih terus terjadi atas nama pembangunan. Tindakan progresif jelas diperlukan.
Banyak RUU yang belum diselesaikan wakil rakyat seperti RUU Mineral dan Batubara, RUU Pertanahan juga Air. Itu faktor endowment yang dihadiahkan Tuhan untuk bangsa ini, bangsa kaya yang kerap terjebak dalam kemiskinan.
Ya, progresif. Bukan menjungkalkan sistem yang didirikan para pendiri bangsa. Selamat hari Jumat…. (*)
BACA JUGA Meme Ini Bikin Saya Nggak Habis Pikir atau tulisan Haryo Setyo Wibowo lainnya. Follow Facebook Haryo Setyo Wibowo.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.