Jembatan Suramadu: Penghubung Antarpulau Sekaligus Portal Mesin Waktu

Jembatan Suramadu: Penghubung Antarpulau Sekaligus Portal Mesin Waktu Surabaya dan Madura

Jembatan Suramadu: Penghubung Antarpulau Sekaligus Portal Mesin Waktu (Pixabay.com)

Melintasi Jembatan Suramadu seperti memasuki portal mesin waktu. Surabaya dan Madura begitu berbeda

Jembatan Suramadu mulai berdiri dan beroperasi sejak 2009. Sejak itu, harapan akan kemajuan Madura begitu digaungkan, karena menjadi semakin dekat dengan kota metropolitan, Surabaya. Harapan mereka, ketimpangan dengan tetangga harusnya tak lagi bumi-langit.

Sebelum adanya Suramadu, orang-orang Madura untuk bisa sampai ke Surabaya harus melalui jalur laut dari Pelabuhan Kamal. Pelabuhannya antre dan perjalanannya memakan kurang lebih 30 menit sampai satu jam. Saat ada jembatan Suramadu, masalah antre menunggu kapal dan waktu perjalanan yang lama bisa dipangkas dengan sekali gas melewati jembatan Suramadu. Melintasi Jembatan Suramadu pun tidak membutuhkan waktu lama. Kurang lebih hanya 10 sampai 15 menit saja menggunakan sepeda motor, orang Madura sudah bisa menyentuh tanah kota Surabaya.

Kemudahan akses ini akhirnya menjadikan masyarakat Madura semakin giat bergerilya mengadu nasib di Surabaya. Tak heran jika banyak kita temui orang Madura yang menetap di Surabaya, seperti di daerah Ampel, Simo, dll. Saat kuliah di Surabaya pun, saya banyak menemui orang Madura. Entah yang berjualan sate, tahu tek, tukang parkir, cleaning service di mall, dan sejenisnya.

Hal ini juga semakin diperkuat saat saya ngobrol dengan tetangga saya yang baru lulus sekolah SMK. Ia menyebutkan bahwa telah mulai menaruh lamaran ke berbagai instansi di Surabaya untuk menjadi satpam ataupun cleaning service. Lalu, saya tanya kenapa harus di Surabaya, tidak di Bangkalan kota saja? Jawabannya sederhana, karena gaji di Surabaya tergolong lebih tinggi daripada di Madura, terutama di Bangkalan kota. Jaraknya pun juga lebih dekat ke Surabaya melalui Suramadu, daripada harus ke Bangkalan kota.

Hadirnya Jembatan Suramadu semacam memfasilitasi mentalitas mereka sebagai manusia rantau. Dengan demikian, minimal orang Madura akan merantau mengadu nasib di Surabaya sebagai tempat terdekat karena dihubungkan oleh jembatan.

Jembatan Suramadu sebagai penggerak ekonomi

Akhirnya, Suramadu tidak hanya jembatan penghubung antarpulau, tapi juga penghubung gerak ekonomi dan juga budaya orang Madura. Dengan semakin seringnya orang Madura yang ke Surabaya dan sebaliknya, maka bahasa Madura dan bahasa Jawa semakin familiar di telinga masing-masing orang, baik orang Madura ataupun orang Jawa. Selain itu, budaya modern dan fesyen juga banyak merasuki anak muda Madura. Sehingga, secara budaya anak muda Madura mulai beradaptasi dengan perkembangan zaman, dengan bantuan jembatan penghubung Suramadu.

Akan tetapi tidak hanya itu, Suramadu tidak hanya menghubungkan secara fisik, ekonomi, dan budaya saja, tapi seakan-akan menunjukkan penghubung lintas zaman. Meski secara budaya mulai ada perubahan di sisi Madura, tapi secara fisik infrastruktur dan perawatannya jauh berbeda dengan Surabaya. Perbedaannya tidak sedikit, tapi teramat mencolok.

Dimensi yang amat berbeda

Jika diperhatikan dengan cermat, saat kita dari Surabaya menuju Madura melalu Suramadu, akan terasa ketika mulai masuk Madura semacam masuk ke dalam pintu dimensi masa lampau. Ketika di Surabaya kita melihat gedung-gedung tinggi pencakar langit, lampu-lampu kota menyala, suara musik dan geliat aktivitas anak muda di mana-mana. Tapi, saat masuk daerah Madura, semuanya seakan sirna. Terasa betul perbedaan zamannya.

Baca halaman selanjutnya

Kesannya, Surabaya menjadi bentuk zaman modern 2023, sedangkan Madura bentuk dari 90-an…
Kesannya, Surabaya menjadi bentuk zaman modern 2023, sedangkan Madura bentuk dari 90-an. Hening, sepi, kosong, tak ada apa-apa. Maka tak heran jika teman-teman saya saat diajak ke Madura merasakan perbedaan yang mencolok, mulai dari infrastruktur, keramaian, fasilitas kota, begitu riskan dan jauh berbeda. Padahal, Madura bagian Bangkalan adalah yang terdekat dari Surabaya.

Yang membuat mereka begitu berbeda

Lalu, pertanyaannya mengapa itu bisa terjadi? Ketika saya coba amati secara kasat mata, paling tidak ada 3 faktor. Pertama, faktor pendidikan dan sumber daya masyarakatnya. Faktor ini menjadi yang paling dasar, karena tingkat pendidikan di Madura, terutama di Bangkalan masih tergolong rendah. Dibanding 3 kabupaten lainnya, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep, Bangkalan hanya lebih unggul dari Sampang. Padahal, Bangkalan secara geografis lebih dekat dengan Surabaya daripada kabupaten yang lain seperti Pamekasan dan Sumenep.

Pendidikan yang rendah ini berdampak pada sumber daya manusia yang sulit berpikir karier jangka panjang untuk mengembangkan potensi yang ada di Bangkalan, Madura. Semua pelajarnya saat lulus SMA/SMK terus berorientasi untuk merantau menjadi pelayan di Surabaya.

Kedua, adalah faktor birokrasi dan perawatan infrastruktur. Saya pikir tidak tepat jika mengatakan bahwa di Madura tidak pernah ada pembangunan. Tentu ada. Di sekitar Suramadu itu ada Tanean Suramadu ada juga Centra Kebudayaan. Tapi, saat dilihat-lihat, semua itu sepertinya dibangun hanya untuk kepentingan laporan birokrasi pembangunan saja. Tidak benar-benar digerakkan untuk menghidupkan suasana kebudayaan masyarakat di Madura.

Sehingga, terlihat saat beberapa tahun berdiri, semua fasilitas bangunan yang ada justru terbengkalai, tidak terurus, dan mangkrak tak berguna. Jadi, saran saya pada para birokrat pembangunan di sekitar Suramadu, jangan hanya memikirkan cara membangunnya saja, tapi pikirkan juga cara perawatan bangunan yang sudah dibangun. Sehingga, bisa lebih terawat, terpakai, dan memfasilitasi berbagai kegiatan orang Maduranya.

Pungli dan izin, what a classic duo

Ketiga, adalah faktor maraknya pungli dan perizinan pembangunan yang berbelit-belit. Saya rasa, terlalu banyak preman yang punya kepentingan perut nggak ngotak di Madura ini. Sehingga, saat ada pembangunan sedikit, diperasnya besar-besaran. Jelas saja orang takut rugi kalau harus bangun di Madura. Belum lagi, perizinan membangun yang begitu syulit dan berbelit. Ini akhirnya membuat para investor mundur saat berhadapan dengan lahan kosong yang ada.

Faktanya jelas terlihat jika kita melintas sedikit ke Utara setelah turun dari Suramadu bagian Madura, banyak sekali lahan kosong yang tidak produktif dan sebenarnya potensial. Tapi, semacam tidak ada yang berminat. Dugaan saya ya karena faktor ketiga ini. Tapi ingat, ini asumsi, dan butuh pembuktian.

Sampai hari ini, masih sangat terasa bahwa jembatan Suramadu bukan sekadar penghubung antar pulau, tapi juga penghubung antar dimensi zaman. Zaman modern dan zaman  “semi-purba”. Jembatan Suramadu bisa saja disebut sebagai jembatan lintas zaman. Mau sampai kapan???

Penulis: Naufalul Ihya Ulumuddin
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 3 Rahasia Orang Madura Sukses di Perantauan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version