Sejak saya menginjak semester tujuh dan mulai menyusun proposal skripsi, FYP TikTok saya hari-hari ini selalu muncul konten-konten edukasi tentang skripsi. Nggak hanya dari satu akun saja, banyak sekali akun yang memproduksi konten tersebut. Baik dari kalangan dosen maupun content creator yang memang basis kontennya adalah edukatif.
Tentu saja saya merasa terbantu dengan suguhan konten-konten itu. Tapi sialnya, dari banyaknya konten edukasi tentang skripsi, nggak jarang pula konten itu diproduksi oleh akun yang basisnya adalah jasa bimbingan skripsi. Kalau Anda yang mahasiswa akhir dan aktif di TikTok, pasti sesekali pernah menjumpai konten yang awalnya mengedukasi tentang skripsi, lalu di ujung durasinya menawarkan jasa bimbingan skripsi.
Masalahnya di sini bukan pada akun yang menawarkan jasa bimbingan skripsi. Tapi kenapa jasa yang serupa dengan bimbel atau les privat untuk anak SD, SMP, atau SMA, hari ini juga muncul untuk kalangan mahasiswa.
Daftar Isi
Jasa bimbingan skripsi bikin eksistensi kampus sekadar tempat mencari nilai dan ijazah
Katakanlah bimbingan skripsi itu memang efektif. Tapi kalau ada banyak mahasiswa akhir yang mengambil jasa itu, bukankah eksistensi kampus jadi rendah, karena sekadar tempat mencari gelar dan ijazah?
Ya, walaupun kompetensi para mahasiswa itu sedikit banyak didapatkan dari kampus. Tapi nggak bisa dimungkiri kalau skripsi yang menjadi bukti kompetensi mahasiswa, itu tetaplah kampus yang menentukan kelulusannya. Dan karena kelulusan itu dituntun oleh pihak jasa pembimbing skripsi, maka secara nggak langsung kampus menjadi sekadar tempat bagi mahasiswa untuk mencari gelar dan ijazah.
Saya pikir, bukan hanya eksistensi kampus yang rendah, melainkan juga moralnya. Coba bayangkan, mahasiswa selama delapan semester membayar banyaknya biaya UKT. Tapi nyatanya ketika pada tahap akhir atau pengerjaan skripsi, malah pihak jasa pembimbing yang menuntunnya, bukan kampusnya. Bahkan, bisa jadi biaya yang dikeluarkan untuk ambil jasa pembimbing skripsi pun nggak lebih besar daripada biaya UKT mahasiswa.
Baca halaman selanjutnya: Simbol rendahnya kualitas dosen pembimbing…
Simbol rendahnya kualitas dosen pembimbing
“Ya, kan, dari kampus sudah menyuruh dosen untuk membimbingnya?”
Tentu saja kampus sudah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan jasa pembimbing skripsi. Tapi, dengan adanya eksistensi jasa pembimbing skripsi, dengan banyaknya testimoni di sana, itu sudah amat sangat cukup untuk menjadi simbol bahwa dosen pembimbing sekarang itu kebanyakan kualitasnya rendah.
Terus terang aja, sampai sekarang saya nggak ambil jasa pembimbing itu. Tapi kalau melihat konten-konten para jasa pembimbing skripsi, memang sangat menyenangkan. Penjelasan mereka sangat sederhana, jelas, dan seolah-olah menganggap mahasiswa sebagai kawan berpikirnya. Terlebih lagi, yang namanya “jasa”, sudah barang tentu mereka ini melayani mahasiswa dengan baik.
Berbeda dengan dosen pembimbing yang nggak jarang penjelasannya rumit. Sehingga membuat mahasiswa bingung dan revisi berkali-kali. Bahkan, kawan saya yang sudah lulus pun pernah gonta-ganti dosen pembimbing dan curhat pada saya. Yaitu bahwa dirinya merasa kalau para dosen pembimbing itu kebanyakan nggak bisa melayani kebutuhan mahasiswanya untuk menyelesaikan skripsi. Seolah-olah mereka justru mempersulit.
Teguran keras bagi kampus dan dosbing
Memang nggak semua dosen pembimbing skripsi itu kualitasnya rendah. Tapi kalau berkaca pada tulisan di Terminal Mojok tentang dosen pembimbing yang suka read doang, melihat sambatan mahasiswa akhir di TikTok, juga mendengar pengalaman dari kawan-kawan sebaya, itu bagi saya sudah menjadi alamat bahwa dosen pembimbing sekarang perlu untuk muhasabah diri.
Harusnya, dengan mengemukanya fakta hari ini ada jasa pembimbing skripsi, hal itu bukan malah dibiarkan oleh pihak kampus dan para dosen pembimbing. Mereka sudah sepatutnya menganggap fakta itu sebagai teguran. Teguran bahwasanya moral mereka sebagai institusi akademis dan pendidik sedang terancam.
Kalau menganggap mahasiswa yang salah, tentu saja hal itu benar adanya. Tapi, mereka masih mahasiswa, masih sangat perlu buat diingatkan dan dituntun. Masak ya sebegitu jahatnya melihat mereka dan orang tuanya bersusah payah mengorbankan dua kali lipat tenaga, pikiran, dan materi bahkan hanya untuk mendapatkan gelar dan ijazah.
Institusi akademis dan pendidik loh. Masak nggak malu mengaku sebagai pembentuk generasi masa depan, tapi faktanya membiarkan mereka sengsara dalam ketidaksadaran?
Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Saran untuk Pembimbing Skripsi yang Mahasiswanya Ngebet Wisuda