Ratusan Suporter Boleh Gugur, Tapi Iwan Bule (Ingin) Abadi Jadi Ketua PSSI
Tragedi Kanjuruhan membuka banyak hal yang tidak beres yang lama tertutup. Polisi yang kelihatan aslinya, panitia pelaksana yang tak peduli nyawa, rating yang jadi dewa, dan lain-lain. Selain itu, salah satu yang paling kentara adalah betapa tidak kompetennya Iwan Bule sebagai ketua PSSI. Bahkan kalau ada yang menyebut Iwan Bule sebagai ketua PSSI terburuk sepanjang masa, saya setuju-setuju saja.
Saya beri tahu beberapa kekonyolan yang blio lakukan. Selain blunder membuka pidato dengan “hadirin yang berbahagia,” purnawirawan perwira tinggi Polri ini juga menanggapi enteng kritik dan tuntutan masyarakat. Salah satunya adalah desakan dari Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso. Desakan blio sederhana dan bisa diterima: Iwan Bule harus mundur dari jabatan Ketua PSSI. Masuk akal, banget, ra nego.
Respons Iwan Bule malah melemparkan ujaran yang luar biasa ra mashok. “Ooo.. apa namanya, desakan ya, biar semua orang bisa bicara apa saja ya,” ujar Iwan Bule seperti yang dilansir detikJatim. Iwan Bule mengatakan lebih fokus menangani para korban Tragedi Kanjuruhan. Entah penanganan macam apa sih.
Ujaran Iwan Bule ini jelas memicu kecaman. Banyak orang menilai Iwan Bule sudah mati empati dan simpatinya. Tidak salah sih jika menilik opini Iwan Bule dan PSSI terhadap tragedi ini. Selain menjadikan suporter Arema sebagai kambing hitam, ketakutan akan sanksi FIFA memang cacat empati.
Tapi yang jadi pertanyaan, kok bisa Iwan Bule (beserta jajaran PSSI yang ndlogok itu) bertahan? Apakah mereka tidak malu untuk tetap menjabat pasca Tragedi Kanjuruhan? Apakah Iwan Bule tidak ingin menunjukkan tanggung jawab dengan mundur dari posisi Ketua PSSI?
Kalau rasa malu, keknya nggak punya. Rasah malu, baru tepat.
Jika boleh jujur, mundurnya pimpinan sebagai rasa malu dan bersalah sangat langka. Jarang kita temui sosok pimpinan yang rela lengser sebagai bentuk tanggung jawab. Saya tidak usah sebut satu per satu. Dari banyak kasus, entah dalam pemerintahan pusat maupun instansi, jarang ada pimpinan yang melepaskan jabatan.
Kecuali karena viral dan desakan yang masif. Dan sepertinya tidak berlaku pada Iwan Bule.
Saya coba memahami kondisi ini. Tentu banyak yang membandingkan tingkah Iwan Bule dengan pemangku jabatan di Jepang. Ketika mereka bersalah pada sebuah kasus, bahkan perdana menteri sekalipun langsung menyatakan mundur dari jabatan. Mereka mengizinkan penanganan kasus tanpa harus mengganggu sistem pemerintahan yang ada.
Kenapa di Indonesia justru berbeda? Jika dirunut, sejarah Indonesia mirip dengan Jepang. Sama-sama feodal ala asia. Tapi saya akan lompati banding-bandingke dengan Jepang. Karena warisan feodal kita mengizinkan manusia paling berdosa sekalipun tetap mempertahankan jabatannya.
Dari era Majapahit yang agung itu, model feodal yang kebal hukum sudah umum terjadi. Banyak bangsawan penguasa tanah serta kelompok ksatria yang bebas mengambil hak rakyat, termasuk hak untuk hidup. Toh, Jayanegara sendiri dikisahkan gemar merebut istri orang. Rakyat yang berontak akan dihadapkan dengan nilai mistis macam kualat.
Pola ini tidak meredup ketika kedatangan Belanda. Justru “bule” satu ini lebih dalam menanamkan pola penguasa kebal hukum ini. Dari gubernur jenderal sampai sinder alias mandor menjadi manusia superior. Dan rakyat dipaksa menelan mentah-mentah kenyataan ini dengan ancaman popor senjata.
Pasca kemerdekaan, Orde Baru melanggengkan praktik kuasa ini. Militer ikut ambil bagian layaknya kasta ksatria di era kerajaan. Maka hari ini kita mewarisi mentalitas brengsek macam ini. Pemangku jabatan adalah sosok “titipan tuhan” yang bisa bebas dari desakan dan tuntutan. Dan Iwan Bule menjadi salah satu “titipan tuhan” ini.
Selain mental superior ini, pemangku jabatan selalu mendapat fasilitas lebih. Bahkan di luar urusan menunjang kinerja. Jika pada era kerajaan, para pejabat mendapat jatah tanah berikut masyarakat di dalamnya. Pada era modern, urusan pulsa saja dibelikan negara. Belum lagi posisi di urusan bisnis. Fasilitas ini mematikan nalar pelayanan masyarakat menjadi pencapaian dan kesuksesan. Dan siapa yang mau merelakan pencapaian dan kesuksesan karena kesalahan yang dilakukan sendiri?
Maka seorang pemangku jabatan rela lengser sangat langka ditemui. Kecuali dengan lobi politik atau desakan semasif reformasi, tidak ada pejabat yang siap mundur sebagai bentuk tanggung jawab. Lha gimana, mereka merasa menjadi “titipan Tuhan” dan bukan pelayan masyarakat.
Selevel kepala RT yang melarikan uang iuran warga saja tidak akan lengser ketika ketahuan. Menteri yang jelas bersalah masalah bansos saja mengulur waktu untuk mengundurkan diri. Apalagi selevel Iwan Bule, orang yang (merasa) menyelamatkan persepakbolaan Indonesia, si paling paham sepak bola, dan pensiunan pejabat pula.
Mungkin saja Iwan Bule akan mengundurkan diri. Mungkin setelah desakan dari masyarakat terlalu membahayakan posisinya, ia baru kepikrian. Tapi, jika menanti beliau rela lengser keprabon ketika masa seperti ini, ah saya saja pesimis. Saya lebih yakin Lia Eden adalah Jibril daripada Iwan Bule lengser karena kesadaran tanpa tekanan dan lobi.
Sorak sorai kepada Iwan Bule, Sang Ketua PSSI yang tetap teguh memegang jabatan meskipun menghadapi badai paling keras. Tidak gentar meskipun ada ratusan orang tewas pada masa kepemimpinannya. Iwan Bule akan abadi tetap (ngeyel) jadi Ketua PSSI, meskipun harus berjalan di atas genangan darah.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Iwan Bule, Ketua PSSI Terbaik Sepanjang Masa