Jangan Bikin Purwokerto Jadi Jogja Kedua! Kami Butuh Hidup Tenang, Bukan Trending

Jangan Bikin Purwokerto Jadi Jogja Kedua! Kami Butuh Hidup Tenang, Bukan Trending

Jangan Bikin Purwokerto Jadi Jogja Kedua! Kami Butuh Hidup Tenang, Bukan Trending (unsplash.com)

Salah satu ketakutan terbesar saya sebagai orang Purwokerto bukan Gunung Slamet yang tiba-tiba batuk. Ketakutan terbesar saya adalah kalau-kalau Purwokerto mendadak viral.

Bukan apa-apa, saya ini lahir dan besar di kota ini. Masih tinggal di sini, kerja dari rumah, makan dari warung tetangga, dan kalau bosan ya jalan kaki di alun-alun. Hidup saya sudah tenang. Terlalu tenang, malah. Dan saya suka begitu.

Akan tetapi makin ke sini, kok makin banyak yang sok-sokan bilang, “Purwokerto tuh hidden gem!”, “Kota kecil rasa metropolitan!”, atau yang paling bikin saya naik pitam, “Purwokerto itu the new Jogja!”

Maaf, ya. Tapi siapa juga yang minta dibanding-bandingkan?

Jangan bikin Purwokerto jadi Jogja kedua

Saya pernah tinggal di Jogja bertahun-tahun, dan saya tahu persis rasanya jadi “orang lokal” di kota yang lama-lama lebih dikuasai pendatang. Mau ngopi di warkop favorit, antre. Mau beli nasi kucing di angkringan langganan, kehabisan. Pengin jalan kaki ke tempat kerja saja disalip rombongan mobil sewaan plat B yang nyasar cari Malioboro lewat ringroad utara.

Jogja sekarang bukan cuma tempat belajar atau liburan. Jogja sudah jadi kota kompetisi: siapa yang paling eksis, siapa yang paling hits, siapa yang paling duluan posting tempat nongkrong baru. Dan saya takut Purwokerto jadi seperti itu.

Purwokerto ini kecil, secara geografis dan kapasitas. Jalan kami sempit. Trotoar kami tipis-tipis. Tempat parkir terbatas. Lahan hijau makin berkurang. Kalau semua orang yang bilang pengin healing di sini dan benar-benar datang ke sini, kami bakal kelimpungan. Kalau semua orang bilang pengin pindah ke sini, warga lama harus tinggal di mana?

Dulu, Jogja sempat jadi rumah yang hangat bagi banyak orang. Tetapi sekarang, bahkan anak Jogja sendiri banyak yang merasa “terusir” dari kotanya sendiri. Dan saya tidak ingin hal itu terjadi di sini. Jangan sampai demi konten, demi sensasi “kota kecil yang damai”, Purwokerto jadi lahan rebutan pencitraan dan properti. Yang rugi siapa? Ya warga lokal. Kami yang dari kecil di sini, dari kecil kenal tukang sayur langganan, tahu tukang parkir mana yang baik dan mana yang suka markup.

Jadi tolonglah. Biarkan Purwokerto tetap jadi Purwokerto. Jangan jadi Jogja kedua. Kami ini bukan kota penyangga budaya urban. Kami cuma ingin hidup tenang, bukan trending.

Baca halaman: Tidak semua tempat harus viral…

Tidak semua tempat harus viral

Ada tempat-tempat yang memang diciptakan untuk tenang. Purwokerto termasuk salah satunya.

Di sini, kamu masih bisa duduk di pinggir jalan tanpa harus dengar suara klakson tiada henti. Masih bisa naik sepeda keliling kampung tanpa ditabrak influencer. Masih bisa ngopi di teras rumah tanpa dibikin overthinking sama algoritma.

Tetapi semua itu bisa hilang kalau tiap orang berlomba-lomba menjual ketenangan ini ke internet. Tenang itu bukan komoditas, tapi hak. Dan warga Purwokerto berhak mempertahankannya.

Kami ini tidak minta banyak, cuma ingin hidup biasa. Bangun pagi, makan bubur, kerja dari rumah, dan malam bisa tidur tanpa dengar suara knalpot brong atau kontes DJ jalanan.

Kami tidak ingin kota kami jadi tempat adu eksistensi. Tidak ingin alun-alun jadi spot selfie nasional. Tidak ingin semua sudut kota kami dijadikan konten untuk orang yang cuma mampir dua hari.

Kalau kamu memang suka Purwokerto, nikmatilah dalam diam. Jangan semua harus kamu upload. Jangan semua kamu review. Biarkan sebagian tempat tetap jadi rahasia kecil yang menyenangkan.

Bukan karena kami pelit. Tapi karena kami tahu: tidak semua yang bagus harus dibagi-bagi.

Tutup kamera, buka mata

Jadi, buat kamu yang sedang ngetik caption “finally healing di Purwokerto”, coba pikir ulang. Mungkin bentuk paling tulus dari rasa cinta terhadap kota ini justru dengan tidak menjadikannya viral.

Tutup kameramu. Buka matamu. Nikmati Purwokerto seperti warga lokal: diam-diam, pelan-pelan, dan dengan hati tenang.

Penulis: Wahyu Tri Utami
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Membayangkan Purwokerto Tanpa Unsoed: Ternyata Nggak Ngenes-Ngenes Amat.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version