Tidak sedikit pada sarjana eksakta ataupun sosial yang fokusnya pada bidang penelitian memiliki hambatan karier, finansial, dan sejenisnya. Hal tersebut membuat para peneliti dan calon peneliti memilih banting stir ke pekerjaan yang notabenenya amat jauh dari disiplin ilmu yang ia pelajari selama kuliah.
Belum lagi menghadapi kenyataan bahwa peneliti dianggap nggak jelas tugasnya apa, nggak dibutuhin negara, bahkan menjadi lawan bagi pihak-pihak tertentu ketika ingin mengkomersilkan atau menyuarakan hasil penelitiannya kepada khalayak umum.
Tak mengagetkan jika akhirnya orang-orang berpikir apa gunanya jadi peneliti di negara ini, jika memang hampir tak ada dukungan untuk profesi ini. Tentu hal ini tak muncul tiba-tiba. Setidaknya, ada lima alasan yang saya temukan kenapa bisa hal ini terjadi.
#1 Perspektif negara berkembang
Secara umum, negara berkembang fokus kepada industri. Sehingga dalam hal SDM lebih banyak diambil dari jurusan teknik, D3, atau D4. Sementara lulusan sains lebih banyak beralih dari bidang yang ia tekuni. Tidak lebih dari 10 persen sarjana sains yang bekerja sesuai dengan jurusan kuliah mereka.
Dan yang cukup mendasar dari negara berkembang, kita fokus pada produksi dan industri ketimbang riset, yang jelas jadi job desc-nya peneliti.
#2 Tidak ada sinergi yang baik
Ini masalah yang pelik. Peneliti dan industri kerap “cekcok” sebab mereka punya pandangan sendiri dan seringnya bertolak belakang. Industri tak berani trial and error terlalu sering, sedangkan peneliti butuh sekali hal tersebut. Hal itu diperparah oleh pemerintah yang tak (mau) menjembatani.
Tentu saja ini jadi masalah besar. Peneliti butuh dana, tapi industri memilih jalan konvensional dan tak mau mendanai. Pemerintah? Fokus Capres 2024.
#3 Gaji kecil
Kayaknya semua orang tahu kalau gaji peneliti di Indonesia itu kecil, terlebih jika dibandingkan dengan luar negeri. Dukungannya pun beda, dan statusnya pun dianggap mentereng.
Di negara kita? Sebentar, saya nangis dulu.
#4 Dianggap sebagai profesi yang tidak jelas
Mungkin ada benarnya jika ada anggapan bahwa jurusan kuliah yang ada di Indonesia itu hanya empat yaitu teknik, hukum, ekonomi dan kedokteran. Yang lain sifatnya pelengkap saja. Kemudian profesi yang dianggap mentereng oleh calon mertua pol-polnya seperti PNS, dokter, pebisnis, pejabat, polisi, TNI, dan sejenisnya. Ketika calon menantu bilang “saya peneliti di instansi A”, niscaya akan ada pertanyaan lagi setelahnya, “Peneliti kerjanya apa?”
Ya meneliti, Pak, Bu. Masak bikin kesel orang. Itu tugasnya Harry Maguire aja.
#5 Kerjaannya “diserobot”
Sudah tidak menjadi rahasia lagi jika permasalahan negara yang tupoksinya adalah milik peneliti, malah diserahkan sepenuhnya kepada politisi. Tidak usah berbicara mengenai pandemi atau wabah penyakit besar lainnya. Katakan, ambillah satu masalah genting yang sudah sangat di depan mata, yaitu penurunan laju muka tanah di pesisir Jakarta.
Sudah banyak pemberitaan, baik di media cetak maupun media elektronik mengenai topik tersebut. Ada yang memperkirakan 10 tahun, 15 tahun, 30 tahun, tapi semua intinya sama, Jakarta akan hilang ditelan laut.
Hal yang sama pernah terjadi di Tokyo pada 1930 dan 1960. Penurunan tanah yang terjadi di sana bisa dikatakan sama atau bahkan lebih buruk dengan yang saat ini terjadi di Jakarta. Namun, yang membedakan adalah tugas tersebut diserahkan kepada peneliti. Peneliti Jepang mengkaji banyak aspek sosial dan ilmiah yang menyebabkan bencana tersebut dapat terjadi. Maka diambillah keputusan dalam hal penghentian eksploitasi air tanah. Salah satu yang diterapkan, pemerintah menyediakan air gratis bagi masyarakat supaya tidak menggunakan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari. Pada 1980 permukaan tanah membaik dan berjalan konstan hingga 2000.
Sementara yang dilakukan pemerintah negara kita saat ini adalah membangun tanggul terus-menerus, yang sejatinya tidak menyelesaikan masalah dalam jangka panjang dan tidak memperbaiki pola hidup masyarakat agar lebih baik. Kenapa? Soalnya permasalahan diserahkan kepada politisi. Contohnya sih masih buanyak.
Itulah beberapa alasan yang bikin nasib peneliti di Indonesia begitu suram. Kalau memang mau sejahtera dan kaya raya, saya pikir, jadi peneliti kurang tepat. namun, kalau nggak ada peneliti, kok ya masa depan negara terlihat suram.
Penulis: Uli Aprilia Mukaromah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Inferiority Complex dalam Dunia Riset Indonesia