Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa para barista bisa tampil modis kayak supermodel padahal gajinya nggak sampe UMR. Jawabannya simpel, sebelum jadi barista, mereka memang udah kayak gitu. Makanya nggak heran kalau banyak barista yang punya iPhone boba, sepatu New Balance, bahkan berangkat kerja pakai Honda HRV, padahal owner-nya cuma pakai Honda BeAT.
Memang nggak semua barista kayak gitu sih, tapi celakanya, yang nggak kayak gitu—nggak tajir dari sononya—berusaha mengimbangi meski dengan gaji ngepres. Celakanya lagi, banyak yang awalnya jadi barista karena ingin mengisi waktu luang di sela-sela kuliah, justru terjebak dan merelakan kuliahnya demi tetap menjadi barista. Apakah hal ini salah?
Daftar Isi
- Awalnya untuk batu loncatan, eh, malah jadi batu pondasi
- Sampai kapan mau menekuni profesi ini?
- Ingat bahwa kamu bekerja, bukan mengelola kedai kopimu sendiri. Kalau tempat kerjamu tutup, selanjutnya kamu mau ke mana?
- Sebelum memutuskan jadi barista idealis, coba pikirkan dulu…
- Personal branding melalui media sosial
- Barista tanpa tempat kerja, mau makan apa?
Awalnya untuk batu loncatan, eh, malah jadi batu pondasi
Sejak sekitar dua bulan lalu, saya selalu membuat konten di Instagram Reels terkait dunia kopi. Satu hal yang kerap saya bahas adalah mengenai profesi barista yang gajinya relatif kecil dan susah memiliki jenjang karier.
Respons dari konten-konten itu biasanya terbagi menjadi dua. Pertama, bagi mereka yang pernah menjadi barista dan akhirnya bekerja di bidang lain setelah lulus kuliah, mereka akan sepakat dengan narasi yang saya bawa. Kedua, bagi mereka yang masih menjadi barista, biasanya akan nggak sependapat atau bahkan tersinggung dengan narasi yang saya angkat.
Kalau boleh jujur, pekerjaan barista itu nggak cocok bagi yang benar-benar ingin mencari uang atau jenjang karier. Kerjaan ini lebih cocok untuk mahasiswa yang punya waktu luang cukup banyak dan ingin menambah uang jajan. Celakanya, banyak yang awalnya hanya ingin mengisi waktu luang, justru kebablasan sampai kuliahnya berantakan.
Nggak bisa dimungkiri, menjadi barista itu menyenangkan. Kamu bisa belajar kopi, kamu bisa minum kopi gratis, dan tentunya kamu bisa punya banyak teman asyik. Lingkungan yang nyaman itu membuat banyak orang yang awalnya coba-coba jadi terlena. Banyak juga yang merespons konten Reels saya dengan candaan, “Awalnya jadi barista hanya untuk batu loncatan. Eh, malah sekarang jadi batu pondasi!”
Candaan seperti itu membuat saya sadar ternyata banyak orang yang mengalami apa yang saya bahas. Apakah lantas saya bilang bahwa profesi ini nggak layak ditekuni? Apakah semata karena gajinya relatif kecil? Nggak juga.
Sampai kapan mau menekuni profesi ini?
Hal yang perlu dipertimbangkan saat memutuskan ingin menjadi barista adalah, sampai kapan mau menekuni profesi ini? Saat masih awal umur dua puluhan, mungkin kamu sedang semangat-semangatnya, sedang idealis-idealisnya, sehingga merasa nggak apa-apa digaji kecil asalkan bisa bekerja sesuai hobi. Akan tetapi seiring waktu berjalan, kalau kedai kopi tempatmu bekerja tutup gimana? Artinya kamu harus pindah ke kedai kopi lain, kan?
Masalahnya, seiring umur bertambah, seiring kebutuhan bertambah, ekspektasi gaji juga akan bertambah, bukan? Ada nggak kedai kopi lain yang mau membayarmu sesuai ekspektasimu? Atau sesimpel, kenapa sebuah kedai kopi harus menerimamu kerja padahal ada banyak mahasiswa yang melamar dan mau digaji lebih rendah di sana?
Ada batasan usia juga yang nggak bisa dilawan. Makin lama, usiamu akan makin bertambah. Kalau sudah merelakan kuliah demi menjadi barista dan portofoliomu hanya kerja sebagai barista, otomatis hanya profesi itu yang bisa kamu pilih, kan? Kalau usiamu sudah jauh melebihi batas maksimal mendaftar sebagai barista, terus kamu mau ke mana?
Ingat bahwa kamu bekerja, bukan mengelola kedai kopimu sendiri. Kalau tempat kerjamu tutup, selanjutnya kamu mau ke mana?
Bagi yang sudah keterima jadi barista di kedai kopi juga harus memikirkan ini. Kalau umurmu makin bertambah dan sudah melewati batas maksimal mendaftar jadi barista, dan mendadak kedai kopi tempatmu bekerja tutup, apa yang akan kamu lakukan? Itu adalah hal paling simpel yang harus dipikirkan.
Coba jawab pertanyaan tersebut. Sampai kapan kamu mau jadi barista? Beda cerita kalau kamu jadi barista di kedai kopi milikmu sendiri! Mau sampai tua jadi barista ya bebas aja. Sepertinya banyak barista yang juga menginginkan hal itu. Masalahnya, jago bikin kopi belum tentu jago mengelola kedai kopi. Itu juga harus kamu ingat baik-baik.
Kalau bisa mengontrol diri dan stop menjadi barista di titik tertentu, lantas mencari pekerjaan yang sesuai jurusan kuliah, atau yang lebih punya jenjang karier, itu akan lebih baik. Toh di tempat saya kerja, saat bukaan lowongan kreator konten, banyak banget yang di CV tertulis pernah menjadi barista di beberapa kedai kopi. Dan nggak ada masalah sama sekali.
Beda ceritanya kalau memang sudah menerima semua konsekuensi dan tetap mau jadi barista selamanya. Menjadi barista idealis sebutannya.
Sebelum memutuskan jadi barista idealis, coba pikirkan dulu…
Akan tetapi sebelum memutuskan menjadi barista idealis, coba pikirkan lagi apakah tiga hal ini ada di pikiranmu. Pertama, apakah ada tujuan mengejar karier? Kedua, apakah selain jadi barista, kamu juga melakukan hal lain yang menghasilkan uang? Ketiga, apakah ada tujuan membangun personal branding? Kalau kamu bisa menjawab satu atau lebih dari tiga hal itu, silakan terus menjadi barista. Kalau belum memiliki jawaban dari salah satu pertanyaan tersebut, sebaiknya kamu mulai memikirkan untuk memilih salah satu dari ketiganya.
Pertama, kalau kamu ingin mengejar karier, coba pikirkan apakah kedai kopi tempatmu bekerja bisa mewujudkan hal itu atau nggak? Kalau nggak bisa, ngapain kamu di sana?
Memilih kerja di Starbucks adalah jalan yang lebih bijak jika ingin mengejar karier. Atau, nekat pergi ke luar negeri seperti ke Kuwait, Saudi Arabia, Oman, dan negara-negara tetangganya juga bisa kamu lakukan karena gaji barista di sana tergolong tinggi. Banyak lho barista lokal yang nekat melakukannya demi meniti karier.
Kedua, kamu jadi barista, tapi juga punya pemasukan tambahan dari hal lain. Kalau begitu gunakan keahlian lainmu untuk mendapatkan uang.
Kamu jago desain? Coba tawarkan jasa bikin desain. Kalau kamu jago nulis, coba tawarkan jasa menulis. Jago jualan? Coba aja menawarkan diri menjadi supplier produk ke owner kedai kopi tempatmu kerja. Intinya, barista adalah pekerjaan fisikmu, tapi gunakan kreativitasmu untuk penghasilan tambahan. Menulis di Terminal Mojok bisa jadi salah satu pilihan. Bayarannya lumayan untuk tambah-tambah pemasukan.
Ketiga, bangunlah personal branding. Saya yakin banyak orang enggan melakukan ini karena prosesnya lama, ribet, dan harus konsisten. Tetapi percayalah, membangun personal branding akan berdampak positif pada akhirnya. Nggak hanya buat barista, tapi buat siapa saja dengan profesi apa saja, personal branding itu penting. Buat barista, hal paling sederhana yang bisa dilakukan adalah membuat konten di media sosial.
Personal branding melalui media sosial
Reels dan TikTok adalah pilihan yang sangat oke saat ini untuk membuat konten. Kamu bisa membuat video tentang aktivitasmu ngebar. Kamu bisa buat konten saat kamu membuat latte art. Buat konten saat kamu opening atau closing juga bisa. Atau bahkan membuat video lucu-lucuan seputar pekerjaan barista.
Cobalah untuk rutin melakukan ini sambil memperhatikan konten jenis apa yang lebih disukai orang-orang. Membuat konten di media sosial adalah langkah yang harus dilakukan jika ingin membangun personal branding.
Kenapa harus konten Reels atau TikTok? Ya karena saat ini konten seperti itu yang bisa dengan mudah dan cepat membuat banyak orang mengetahui siapa dirimu! Konsep personal branding adalah sesimpel menunjukkan ke dunia tentang dirimu dan apa yang bisa kamu lakukan!
Kalau sudah konsisten dan tau konten seperti apa yang rame, pelan-pelan akan muncul berbagai tawaran menarik. Entah tawaran endorse, entah tawaran freelance membuat konten serupa untuk tempat lain, atau bahkan bisa juga tawaran pekerjaan yang lebih menjanjikan untuk kariermu.
Prosesnya memang nggak instan. Pasti banyak yang sudah mencoba melakukan hal semacam ini, namun karena nggak melihat hasilnya secara langsung, maka menyerah di tengah jalan.
Barista tanpa tempat kerja, mau makan apa?
Itu semua harus kamu renungkan kalau mau tetap menjadi barista. Kalau nekat menjadi barista tanpa peduli kapan mau berganti profesi, atau tetap mau jadi barista tanpa peduli tiga hal penting yang saya bahas dengan alasan capek, mager, males, atau semacamnya, ya udah pasrah aja.
Tapi ingat, kedai kopi tempatmu bekerja nggak akan selamanya bertahan. Usiamu juga nggak akan terus muda. Penampilanmu nggak akan selalu good looking. Jangan menyesal saat nanti kamu sadar kalau keahlianmu cuma bikin kopi dan akhirnya kamu hanya akan menjadi barista tanpa tempat kerja.
Penulis: Riyanto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Membongkar Alasan Barista Jogja Diupah Begitu Rendah.