Pernahkah anda membaca tulisan pendek atau kutipan-kutipan kata mutiara yang ditempel di gambar-gambar? Belakangan malah nyaris ruang maya kita dipenuhi oleh gambar-gambar yang bertuliskan kata-kata pendek itu. Pendek namun penuh energi, terkadang ada yang provokatif dan menggugah semangat.
Kata-kata yang telah diambil saripatinya oleh ‘tangan kreatif’ konten kreator dari buku-buku, dari ceramah-ceramah tokoh-tokoh, dari gagasan cendekiawan, dari puisi-puisi penyair, dari guyonan-guyonan komedian, yang seringkali tanpa sadar kita jadikan story WhatsApp kita.
Beragam macam jenis meme, ada yang berlatar belakang pemandangan, ada yang dipadukan dengan ilustrasi, vector art, wpap art, apalagi perkembangan arus teknologi kita yang kian canggih ini sangat mendukung untuk mendesain gambar-gambar seperti itu, gambar yang pada mulanya ditemukan oleh Whynne—seorang user DeviantArt. Pada awalnya ia hanya ingin menggambarkan karakter yang bernama Repe Rodent.
Gambar yang ditemukan oleh user bernama Whynne di 4chan itu pertamakali dibuat dengan MS Paint dan diupload pada 19 September tahun 2008—jauh sebelum tersedia aplikasi konvensional macam Canva, PicsArt, dan kawan-kawan yang bisa kita unduh secara cuma-cuma di Google Playstore itu.
Karya-karya konten kreator penyedia meme-meme di ruang maya kita sekarang ini, barangkali mengekor pada user bernama Whynne di atas tadi. Maka tidak mengherankan jika sekarang ini, satu orang bisa memiliki sepuluh akun media sosial, bahkan ada yang melebihi angka itu.
Tak jadi soal bila ingin mengikuti jejak para pendahulu yang sukses mengelola akun media sosial serupa—katakanlah Instagram atau mengelolah Fanpage Facebook yang mendapat banyak like, komen dan share oleh para penggemarnya. Malahan banyak para admin itu yang mendapat endorsement dari berbagai macam produk.
Tapi alangkah musykil-nya bila para admin yang berusaha membuat banyak akun untuk posting-posting di media sosial itu hanya untuk tujuan komersial belaka? Betapa itu akan menjadi problem—atau maaf—bisa jadi malah menjadi sampah di ruang maya bila hanya ingin memposting kata-kata yang berisi ujaran kebencian mengatasnamakan tokoh A—padahal tokoh tersebut tidak pernah berkata seperti yang ia posting di media sosial. Ini sangat musykil dan menyedihkan.
Kebebasan berekspresi di dunia maya memang milik setiap manusia, postingan-postingan meme di media sosial kita sudah tak terhitung lagi, banyak sekali akun-akun baru di Instagram yang memposting meme-meme, kutipan-kutipan entah dengan motif apa. Barangkali mereka ingin mendapat endors juga? Atau ingin jualan pakaian? Ingin jualan apa saja yang ia anggap menghasilkan karena sudah punya banyak followers.
Kalau dulu, saat orang-orang berpendidikan berkumpul, ia akan membicarakan sudah berapa banyak kitab dan buku yang mereka khatamkan? Sudah berapa karya yang telah ditulis? Kalau sekarang—hai, sudah berapa followers-mu sekarang? Sudah dapat endors? | Alhamdulillah—followersku makin menyusut. | Walah, kamu sih nggak beli follower robot. | Lho emangnya ada? | Belilah di akun ini, dijamin murah dan aktif, nggak bakal ilang alias permanen, dan seterusnya dan seterusnya.
MasyaAllah—seru sekali percakapan mereka ya. Tapi kenyataan ini adalah dinamika zaman, revolusi makin menjadi-jadi, barangsiapa tak mengikuti perkembangan zaman, maka bersiaplah menjadi sosok yang kuper, kudet dan feodal. Barangsiapa mengikuti perkembangan zaman, maka jangan melakukan manipulasi apapun agar terlihat tak ketinggalan zaman—bersikaplah natural saja.
Melakukan manipulasi ini bukan bermaksud untuk menyudutkan kawan-kawan kita yang membeli subscribers dan followers hantu karena terlanjur membuat akun yang bersifat umum. Melainkan memanipulasi informasi dan data yang tidak sesungguhnya alias hoax.
Membuat akun media sosial yang bersifat umum boleh kita sebut sebagai ‘ibadah mulia’ untuk menjaga, merawat dan melestarikan nasehat, pitutur, dawuh guru-guru kita yang mulia akhlak dan budi pekertinya, maka tidak ada salahnya jika kita mendukung admin-admin media sosial kita yang ikhlas membuat konten lalu mempostingnya dengan istiqamah itu.
Lalu bagaimana dengan admin-admin yang masih terhitung pemula? Katakanlah followers-nya baru 10K, jumlah like-nya baru ratusan. Apakah mereka akan bisa istiqamah dan tetap eksis? Wallahu a’lam—setahu saya, admin-admin yang sukses mengelola akun media sosial itu juga mempunyai laku tirakat—selain istiqamah nampaknya mereka juga berdoa, mereka memanusiakan akun yang mereka buat, menyayanginya, membesarkannya, merawatnya, menganggap akun yang mereka buat adalah anak biologis yang mereka lahirkan. Sehingga apabila anak biologis yang dilahirkan itu tak kunjung besar dan bermanfaat untuk pengguna media sosial yang lain, mereka akan malu.
Pertanyaan mendasar untuk admin-admin media sosial baru yang jumlah follower-nya baru ratusan, jumlah postingannya baru puluhan tapi sudah loyo? Hayo, sudahkah sampeyan tirakat? Asal sampeyan tahu. Mbah Kiai Manab itu tidak berani tidur kalau belum mendoakan santri-santrinya!
Wallahua’lam