Berita bahwa hanya 11 persen anak muda berminat menjadi guru sontak menggema dan menimbulkan kegelisahan baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Angka itu tidak sekadar statistik; ia ibarat sinyal bahwa profesi yang selama ini menjadi pilar peradaban tengah berada dalam titik kritis. Jika hanya segelintir generasi muda yang mau mengajar, apa yang akan terjadi pada sekolah-sekolah kita beberapa tahun ke depan?
Pertanyaan ini layak direnungkan bukan hanya oleh para pendidik, tetapi oleh seluruh warga bangsa yang percaya bahwa kemajuan lahir dari kualitas pengajaran. Kita seolah diingatkan bahwa masa depan tidak hanya dibangun oleh teknologi atau infrastruktur, tetapi oleh kehadiran guru-guru yang mencerahkan.
Fenomena menurunnya minat menjadi guru ternyata bukan hanya terjadi di Indonesia. Sejumlah penelitian internasional dalam jurnal bereputasi, seperti Teaching and Teacher Education serta Journal of Teacher Education, menunjukkan adanya tren dunia: generasi muda semakin berhitung ketika harus memilih profesi yang menuntut banyak tetapi tidak selalu memberikan ruang berkembang yang memadai (Darling-Hammond, 2020; Watt & Richardson, 2019).
Dalam berbagai studi itu, anak muda—khususnya Gen Z—mengungkapkan harapan akan pekerjaan yang fleksibel, terstruktur dengan baik, serta menawarkan penghargaan sosial dan finansial yang layak. Mereka menginginkan karier yang memungkinkan keseimbangan hidup, kesempatan belajar berkelanjutan, dan pengakuan terhadap kreativitas mereka.
Administrasi dan ekspektasi
Di Indonesia, dalam beberapa studi, mahasiswa pendidikan menilai profesi guru memiliki beban administratif yang tinggi, ekspektasi publik yang semakin besar, tetapi imbalan ekonomi yang belum sejalan dengan tanggung jawabnya (Setiawan, 2022). Tidak sedikit mahasiswa yang menyebut bahwa mereka lebih tertarik menjadi tutor privat, konten kreator pendidikan, atau pelatih komunitas karena ruang berekspresinya lebih luas.
Temuan ini menunjukkan bahwa jarak antara harapan anak muda dan realitas profesi guru semakin melebar. Maka, persoalannya bukan semata soal minat, tetapi soal kecocokan dengan kondisi kerja yang ada.
Jika, menyebut Gen Z “anti guru” sebenarnya tidak tepat. Mereka bukan menolak nilai pendidikan atau menolak keberadaan sosok pendidik. Justru sebaliknya, mereka tumbuh dalam era ketika akses pengetahuan melimpah dan figur-figur pembelajar digital menjadi inspirasi. Banyak anak muda hari ini belajar dari mentor daring, kelas interaktif, dan komunitas digital. Mereka menghargai proses berbagi ilmu.
Yang mereka pertanyakan adalah sistem kerja yang membungkus profesi guru, bukan aktivitas mengajarnya. Mereka melihat guru sebagai profesi mulia, tetapi sistemnya sebagai ruang yang tidak selalu ramah.
Ketika profesi guru dianggap kurang menjanjikan di masa depan, masalahnya bukan pada mereka yang enggan memilih, tetapi pada kondisi yang tidak memberi daya tarik. Negara-negara dengan suplai guru yang stabil umumnya melakukan tiga hal penting: memberi dukungan profesional sejak awal, menyediakan kesejahteraan memadai, dan membuka ruang inovasi bagi guru untuk bereksperimen dan tumbuh (OECD, 2021).
Ketiganya belum sepenuhnya menjadi kenyataan di banyak sekolah kita. Banyak guru baru merasa sendirian, terbebani laporan, dan jauh dari kesempatan peningkatan kompetensi yang berkelanjutan.
Calon guru pun tertekan
Di samping itu, kampus-kampus pendidikan pun menghadapi tantangan serupa. Para calon guru belajar pedagogi modern, teknologi pendidikan, dan inovasi pembelajaran, tetapi ketika memasuki lapangan, mereka sering menemukan ruang kerja yang kaku, hierarkis, dan kurang memberi tempat bagi ide segar. Jurang inilah yang membuat mereka ragu melangkah lebih jauh.
Tidak sedikit mahasiswa PPG atau calon guru yang mengaku semangatnya “meredup” saat melihat realitas lapangan yang tidak sejalan dengan apa yang diajarkan di kelas.
Generasi muda bukan anti terhadap profesi guru. Mereka hanya tidak ingin masuk ke pekerjaan yang tidak memberi jaminan masa depan, baik dari sisi penghasilan maupun ruang pertumbuhan. Mereka ingin dihargai sebagai profesional, bukan sekadar pelaksana kurikulum. Serta, mereka ingin berdaya, bukan tenggelam dalam tumpukan administrasi. Mereka ingin mengajar, tetapi tidak ingin kehilangan dirinya dalam proses itu.
Jika hari ini kita terkejut oleh angka 11 persen, mungkin itu adalah undangan untuk bercermin. Regenerasi guru tidak akan terwujud jika kita hanya meminta anak muda “lebih ikhlas” atau “lebih berjuang”. Mereka bukan generasi anti pengabdian; mereka hanya menolak sistem yang tidak mengapresiasi pengabdian itu.
Pada akhirnya, pertanyaan terpenting bukan “mengapa Gen Z menjauh?”, tetapi “apa yang sudah kita lakukan agar profesi guru pantas menjadi pilihan mereka?” Selama kita belum benar-benar menjawabnya, jangan terburu-buru menuding generasi muda. Bisa jadi yang sebenarnya anti terhadap perubahan bukan mereka, tetapi sistem pendidikan yang terlalu lama kita biarkan berjalan apa adanya.
Penulis: Muhammad Arya Dwiki Ressa Adriani
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kualitas Tenaga Pendidik Rendah: Jangan Salahkan Guru, tapi Benahi Sistemnya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
