Kalau di Jawa Tengah ada daftar jalan yang bikin orang merinding bukan karena hantu, tapi karena kecelakaan lalu lintas, jalur Karanganyar-Gombong di Kebumen jelas masuk nominasi. Kalau Anda orang Kebumen atau Banyumas, mungkin pernah mendengar sebutan jalur tengkorak di ruas Karanganyar-Gombong. Namanya saja sudah bikin merinding.
Nama tersebut muncul bukan karena jalan ini dihiasi ukiran tengkorak ala tato biker, tapi karena banyak kecelakaan yang memakan korban di jalur ini. Jalan raya yang membentang dari barat Pasar Karanganyar hingga Gombong ini sudah lama dapat julukan jalur tengkorak. Bukan tanpa sebab, korban kecelakaan di jalur ini sudah banyak yang berakhir tragis.
Seperti biasa, tragedi di jalan raya di Indonesia jarang bisa lepas dari bumbu mistis. Di jalur Karanganyar-Gombong, faktor itu muncul dari keberadaan makam Alang-alang Amba yang persis berada di pinggir jalan. Orang sini percaya, kalau lewat situ wajib bunyikan klakson sebagai tanda permisi. Logikanya? Ya, jangan ditanya. Namanya juga logika mistika. Kadang-kadang di negeri ini, pocong dianggap lebih punya hak istimewa daripada polisi lalu lintas.
Namun, kalau dipikir-pikir, aturan tidak tertulis itu justru ada sisi positifnya juga. Minimal, pengendara jadi sedikit lebih fokus, tangannya pegang setir sambil nge klakson, bukannya main HP sambil gas pol.
Tapi, tidak hanya karena itu jalur Karanganyar-Gombong dianggap mengerikan. Ada penyebab-penyebab lain yang saya rasa amat berkontribusi terhadap kengerian jalur ini.
Jalur lurus, godaan ngebut
Jalan Karanganyar-Gombong memang lebar, lurus, dan panjang. Kalau siang hari, jalannya terasa seperti lintasan MotoGP. Pengendara motor bisa tergoda untuk uji top speed, pengemudi mobil tergoda nyalip kiri-kanan. Sayangnya, kondisi “nyaris tol” itu semu. Karena faktanya, jalur ini nggak mulus-mulus amat.
Ada bagian jalan coran yang bergelombang, bikin kendaraan goyang-goyang macam dangdutan. Pengendara bisa terlena ketika habis ngebut tiba-tiba ketemu belokan tajam atau jalan bergelombang. Kalau sudah begitu, salah sedikit saja bisa berujung fatal. Dan yang paling sering dituduh?
Ya, tentu saja faktor mistis. Padahal kadang masalahnya sederhana: orang kebablasan gas, jalan nggak rata, lampu penerangan minim.
Angin sawah, baliho caleg, dan bus ugal-ugalan di Jalur Karanganyar-Gombong
Selain jalur coran yang bikin waswas, faktor lain yang bikin jalur ini rawan adalah angin kencang dari persawahan terbuka. Pernah ada peristiwa absurd yang bikin banyak orang geleng-geleng kepala, yaitu ada seorang siswi SMK meninggal dunia karena tertimpa baliho caleg yang roboh diterpa angin kencang, Januari 2024 lalu.
Tapi bukan cuma baliho. Jalur ini juga jadi arena bus dan kendaraan besar yang sering ugal-ugalan. Mereka kadang makan jalur, mepet banget sama kendaraan kecil, dan bikin pengendara motor harus memilih minggir ke bahu jalan atau siap adu nyawa. Kadang mereka juga ngerem mendadak, entah karena kejar setoran atau ingin salip kendaraan lain. Buat yang naik motor, rasanya nyawa cuma setebal ban luar.
Jadi lengkaplah sudah, jalur Karanganyar-Gombong bukan cuma melawan takdir, tapi juga melawan logika pengemudi kendaraan besar yang kadang merasa jalan selebar itu masih kurang.
Jalur kombo maut
Maka lengkaplah reputasi jalur Karanganyar-Gombong sebagai jalur tengkorak. Bayangkan, dalam satu lintasan saja sudah ada makam yang dipercaya angker, jalan lurus yang menggoda ngebut, cor-coran bergelombang yang bikin kendaraan oleng, angin kencang dari sawah yang bisa bikin apa saja terbang, baliho caleg yang siap roboh kapan saja, plus bus ugal-ugalan yang melaju seolah jalan itu punya kakek buyutnya.
Paket kombo maut ini masih dilengkapi dengan penerangan jalan yang minim serta pengendara yang kadang lebih percaya diri daripada skill yang dimiliki. Wajar kalau setiap kali ada kecelakaan, orang bingung mau menyalahkan siapa: mistis kuburan, angin, jalan coran, baliho caleg, atau sopir bus yang lagi kejar setoran.
Kalau warga percaya jalur ini angker, silakan saja bunyikan klakson saat lewat makam. Tapi kalau mau lebih realistis, ya harus ada solusi konkret: perbaikan jalan coran yang bergelombang, penerangan jalan yang memadai, pembatas kecepatan di titik-titik rawan, aturan ketat pemasangan baliho, dan ini penting juga untuk pengawasan sopir bus biar nggak asal gas seenaknya.
Terus terang, kalau masih ada bus makan jalur dan baliho caleg roboh menimpa orang, itu bukan lagi sekadar jalur tengkorak, tapi jalur paling tragis di Indonesia.
Jalur Karanganyar-Gombong bisa berubah, tapi…
Pada akhirnya, jalur Karanganyar-Gombong ini bisa kok berubah citra, dari jalur tengkorak jadi jalur aman sentosa. Syaratnya, pemerintah mau serius memperbaiki infrastruktur, sopir bus mau sadar bahwa jalan itu bukan sirkuit balap, dan pengendara motor nggak gampang nafsu sama godaan gas pol.
Tapi ya itu tadi, di negeri ini logika mistika sering lebih dipercaya daripada logika lalu lintas. Jadi jangan heran kalau banyak orang lebih percaya klakson permisi ke makam daripada pakai helm SNI sambil jaga kecepatan.
Penulis: Akhmad Alhamdika Nafisarozaq
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















