Jalan Panggung, jalan di Surabaya yang tidak seperti di Surabaya.
Surabaya adalah kota yang mewah dengan banyak gedung megah. Itulah bayangan saya ketika awal-awal merantau ke Surabaya untuk kuliah di UNAIR. Bayangan itu serasa diamini ketika melihat Jalan Tunjungan. Tiap sudut terasa hidup dengan kehadiran tempat perbelanjaan hingga tongkrongan kalcer. Belum lagi daerahnya yang tertata rapi dan bersih.
Akan tetapi, kunjungan ke Jalan Panggung saat kuliah lapangan mengubah banyak pandangan saya akan Surabaya. Tidak melulu kota mewah dengan gedung megah, Surabaya ternyata punya sisi semrawut, kumuh, dan jauh dari kata rapi. Tidak seperti kawasan Tunjungan, Jalan Panggung Surabaya masih bergelut dengan kabel ruwet dan sampah di setiap sudut.
Menyaksikan 2 pemandangan itu dalam satu kota yang terasa surreal, tidak nyata. Jalan Tunjungan dan Jalan Panggung bak langit dan bumi sekalipun Jalan Panggung pernah direvitalisasi.
Menyusuri Jalan Panggung terasa tidak seperti di Surabaya
Selain Kota Pahlawan, warga keturunan Tionghoa adalah salah satu hal yang terbesit di benak saya ketika membicarakan Surabaya. Namun, hal itu bakal sulit kalian temui di Jalan Panggung. Di sana kalian akan lebih mudah menemui warga keturunan Arab. Ini tidak lepas dari kawasan Ampel sebagai pusat kedatangan dan pemukiman Arab sejak abad ke-15. Kebanyakan dari mereka datang dan berdagang minyak wangi.
Tidak heran, sepanjang menyusuri Jalan Panggung, saya mudah menemukan wajah khas Timur Tengah. Tiap ruko pasti ada satu atau dua orang dengan hidung mancung yang khas itu. Bagi saya, ini fenomena yang cukup asing. Melihat bagaimana orang-orang berkomunikasi dengan bahasa Arab memperkuat kesan Jalan Panggung bukanlah Surabaya. Apalagi, sangat jarang terdengar pisuhan-pisuhan yang jadi ikon arek Surabaya.
Revitalisasi yang kini terasa sia-sia
Selain suasananya yang kental akan orang-orang Timur Tengah, Jalan Panggung tidak seperti di Surabaya karena tidak terawat. Beda sekali dengan kawasan Tunjungan di pusat kota.
Berdasar berita yang saya baca, kawasan ini sebenarnya sempat direvitalisasi pada 2019. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melihat terlalu banyak bangunan mangkrak dan kumuh di sana. Berbagai upaya dilakukan mulai dari pengecatan ulang hingga perbaikan jalan. Sayang seribu sayang, bertahun-tahun berlalu sejak revitalisasi itu dan Jalan Panggung Surabaya masih saja masih darurat perbaikan dan perawatan.
Bayangkan, tiap langkah saya dihiasi dengan jalan kotor dan becek karena air hujan. Sampah plastik bertebar di mana-mana. Saya kesulitan menemukan tempat sampah di sana. Masyarakat seakan-akan diarahkan untuk membuang sampah ke mana saja asal bukan di tempatnya. Tidak heran, berbagai jenis sampah pun bertebaran di sana.
Tidak hanya jalanan yang terkesan kumuh, Jalan Panggung Surabaya juga meninggalkan kesan semrawut. Kabel listrik yang kusut jadi pemandangan tak enak di mata. Bangunannya pun tak seindah sejarahnya. Cat warna-warninya kusam, pertanda betapa tidak terawat kawasan yang katanya masuk destinasi wisata ini.
Kondisi lalu lintas jalan tak perlu ditanya lagi. Begitu ramai khas pusat perdagangan. Namun, jadi masalah besar ketika kendaraan di sana parkir begitu liar. Bahu jalan seolah jadi milik pribadi ketika truk-truk besar berhenti seenaknya. Trotoar jebol rawan bikin kaki keseleo tanpa sengaja. Parahnya, lampu hias di sepanjang jalan banyak yang raib tanpa jejak.
Beli parfum sekalian menikmati bau amis pasar ikan
Ini hal yang paling tidak saya duga dari Jalan Panggung Surabaya. Saat pertama kali datang di kawasan ini, hidung saya disambut wangi parfum khas Timur Tengah. Namun, semakin masuk ke dalam, bau amis ikan menusuk hidung tanpa izin.
Entah bagaimana ceritanya di satu kawasan yang sama ada pedagang parfum dan pasar ikan. Ini adalah kombinasi terburuk yang pernah saya alami. Saking menyengatnya bau amis, bukan tidak mungkin kalian bisa mual parah. Bagi yang tidak kuat dengan bau amis ikan, siap-siap bawa kantong kresek jika ke sana.
Walau singkat, kunjungan saya ke Jalan Panggung Surabaya meninggalkan kesan mendalam. Alih-alih terpukau, saya hanya bisa keheranan. Kawasan yang sempat digadang-gadang jadi salah satu destinasi wisata Surabaya itu malah kembali ke bentuk sebelum direvitalisasi. Jadi pusat perdagangan penggerak roda ekonomi, sekaligus kawasan kumuh tanpa perawatan yang memadai. Jalan Panggung dan Tunjungan sama-sama masih di Kota Surabaya, tapi bagi saya, seperti berada di dimensi yang berbeda.
Penulis: Mohammad Adif Albarado
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Alasan Orang Surabaya Lebih Sering Healing Kilat ke Mojokerto daripada ke Malang.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















