Setiap melintasi Jalan Gatak, saya selalu bernyanyi, “Jalan sekecil itu berkelahi dengan waktu.” Maklum, Jalan Gatak—yang kadang disebut juga “Jalan UMY”—ini memang kelewat kecil untuk menampung hiruk pikuk Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta). Karena itu saya cukup PD menobatkan Jalan Gatak UMY yang terletak di Kabupaten Bantul ini sebagai miniatur Jogja. Bukan Jalan Seturan, bukan Jalan Concat, tapi Jalan Gatak.
Semua elemen daerah istimewa meluap-luap di jalan sepanjang 1 kilometer ini. Ada mahasiswa, buruh, pedagang kecil, konglomerasi, hotel, sawah, coffee shop, dan jalan rusak di sini. Melintas di jalan ini saja sudah memberi gambaran betapa romantisnya (dan ruwetnya) Jogja. Seruas jalan yang sederhana sekaligus megah dalam waktu bersamaan.
Daftar Isi
Sebenarnya di bagian Bantul sebelah mana Jalan Gatak UMY?
Perkara identitas Jalan Gatak memang sering jadi perdebatan. Pertama, perkara penyantuman nama “UMY” di Jalan Gatak ini. Sebenarnya sah-sah saja untuk mencantumkan nama sebuah tempat penting pada jalan. Masalahnya, Jalan Gatak tidak berada di lingkungan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), melainkan terpisah oleh Ring Road Barat.
Alasan Jalan Gatak sering disebut Jalan UMY cukup simpel: banyak mahasiswa UMY tinggal di sekitar jalan ini. Kultur mahasiswa juga membentuk Jalan Gatak UMY ini sebagai one stop shopping ala-ala Seturan. Semua kebutuhan mahasiswa ada di sepanjang jalan ini. Dari fotokopi, toko alat tulis, toko tembakau, pusat fashion, dan sudah pasti coffee shop. Yang kurang mungkin cuma SPBU, namun sudah diakomodir oleh SPBU Tamantirto.
Padahal kampus di sekitar Jalan Gatak tidak hanya UMY, ada Universitas Alma Alta dan Universitas Jenderal Achmad Yani. Mahasiswa Universitas PGRI Yogyakarta juga banyak yang kos di Jalan Gatak UMY Bantul ini. Nggak apa-apa, yang lain ngalah dulu deh karena nama UMY kebacut melegenda di wilayah Ring Road Barat.
Ruas Jalan Gatak UMY sendiri masih sering bikin bingung. Umumnya orang ruas jalan ini sepanjang simpang empat Gatak sampai simpang empat Kasihan. Padahal Jalan Gatak secara resmi hanya sekitar 700 meter. “Jalan Gatak” terpotong di simpang tiga dekat pabrik tekstil PT. IGP yaitu Jalan Tamantirto-Kasihan. Selama ini “Jalan Gatak” adalah gabungan jalan ini dengan Jalan Tamantirto-Kasihan yang berujung ke Ring Road.
Tapi nggak apa-apa, kita asumsikan Jalan Gatak sebagaimana orang pada umumnya mengenal. Saya juga akan tetap menyebut Jalan Gatak dengan embel-embel UMY. Karena yang menarik bukan masalah identitas jalan ini. Bukan pula masalah jalan rusak yang tidak pernah layak lebih dari 3 bulan. Namun apa yang ada di sekitarnya.
Perpaduan unik mahasiswa-buruh
Yang paling unik dari Jalan Gatak UMY di Bantul ini adalah demografinya. Jalan kecil ini didominasi oleh dua kelompok: mahasiswa dan buruh pabrik. Jarang-jarang ada kompleks pabrik padat karya yang dekat dengan area kampus. Namun masih masuk akal karena Jalan Gatak ini dekat dengan Ring Road yang jadi jalur distribusi utama Jogja.
Saat melewati jalan ini, Anda akan menemukan pekerja yang baru bubaran pabrik berpadu dengan mahasiswa yang mencari tempat mengerjakan skripsi. Atau para pekerja yang diskusi perkara target produksi di samping mahasiswa yang membahas tentang proposal kegiatan. Ketika dua kultur ini sering terpisah di berbagai daerah, mereka bersatu di Jalan Gatak UMY Bantul.
Selain manusia, kendaraan yang melintas Jalan Gatak UMY juga beragam. Semua tumpel blek di jalan yang susah dilalui mobil papasan ini. Apalagi kalau kendaraan besar yang lewat seperti truk atau bus. Akhirnya Jalan Gatak terhitung padat meskipun berada di area suburban.
Dua kultur ini juga berpengaruh pada bisnis di sekitarnya. Ada coffe shop yang fancy, dan ada warkop yang simpel. Ada butik dan toko baju murah meriah. Lalu ada juga kos-kosan eksklusif dan kos-kosan hemat. Semua berpadu demi kebutuhan masing-masing kelompok yang menguasai jalan yang abadi rusaknya ini.
Buruh tani, mahasiswa, kaum miskin kota
Jalan Gatak UMY bukan milik mahasiswa dan buruh saja, namun juga milik warga yang tinggal di sekitarnya. Sebagai daerah “pinggiran,” Jalan Gatak menjadi ruang hidup kelompok ekonomi menengah ke bawah. Di balik hiruk pikuk jalan ini, ada keluarga yang bertahan hidup dengan uang kurang dari 20 ribu per hari.
Suka tidak suka, situasi ini wajar terjadi. Pertumbuhan kampus di sekitar Ring Road Barat terhitung pesat. Ditambah pertumbuhan distribusi barang seperti gudang dan pusat pengiriman. Area Jalan Gatak UMY yang dulu sepi kini dipenuhi manusia dari luar yang membuka bisnis, bekerja, maupun kuliah.
Masyarakat Gatak yang umumnya bekerja di sektor pertanian dan wirausaha kecil tentu terpisah oleh pendatang dari sisi ekonomi. Sehingga meninggalkan pemisah sosial di jalan yang sebenarnya kecil dan sempit ini. Situasi ini makin nampak ketika melihat pemandangan di jalan penuh lubang dan polisi tidur tak masuk akal. Sawah berjejer dengan coffee shop mahal dan warung kelontong kumuh.
Iya, saya menyinggung gentrifikasi. Kenapa? Nggak suka?
Maka Jalan Gatak UMY di Bantul ini makin unik dan jadi miniatur Jogja. Ada mahasiswa, pegawai part-time, shopkeeper bergaji di bawah UMR, buruh pabrik, sampai pemilik kos dan usaha beromzet ratusan juta. Hal ini disempurnakan dengan situasi jalan yang memadukan nuansa pinggiran, kemiskinan, dan hedon ala-ala. Oh ya, jangan lupakan masalah jalan rusak!
Ingat lagu “Buruh Tani”, terutama bagian pembukanya? Semua itu dirangkum di Jalan Gatak UMY. Kurang revolusinya aja biar makin cocok dengan lagu tersebut. Tapi minimal jalannya dibenerin dulu, sih.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Intan Ekapratiwi