Jalan Balapan Jogja dulunya adalah tempat balapan pacuan kuda pada zaman Belanda. Tapi, jejaknya sudah tak terlihat.
Jalan Langensari yang terletak di Kelurahan Klitren, Kecamatan Gondokusuman kelihatannya cuma sebuah jalan biasa seperti jalanan lainnya di Kota Jogja. Tapi, kawasan ini punya kemiripan sama kawasan Kotabaru dengan pemandangan unik berupa rumah-rumah tua khas era kolonial yang kini masih memancarkan kesan antik. Untungnya beberapa masih berpenghuni dan sebagian besar terawat dengan baik.
Dulu, rumah-rumah ini adalah hunian dinas para pegawai bengkel kereta api Centrale Werkplaats atau yang sekarang jadi Balai Yasa (Pengok) Yogyakarta. Itulah kenapa rumah-rumah tua ini sampai sekarang masuk aset PT KAI.
Jalan Langensari ini membentang jadi barat ke timur dan seakan membelah kawasan era kolonial ini jadi dua sisi, utara dan selatan. Di sisi selatannya, adalah rumah-rumah tua tadi sedangkan sisi utaranya dipadati oleh bangunan-bangunan yang relatif baru. Pemandangan ini cukup kontras yang menimbulkan adanya “kejanggalan”, kenapa ada perbedaan di masing-masing sisi jalan ini? Normalnya kan di dalam satu kawasan era kolonial pasti bangunannya berarsitektur yang hampir sama.
Daftar Isi
Jalan kecil di utara
Petunjuk untuk mengurai “kejanggalan” itu ada di sebuah jalan kecil yang bermuara di Jalan Langensari yang berada di kawasan utara jalan ini, yaitu Jalan Balapan Jogja. Di sini mulai tercium kira-kira bekas apa kawasan “baru” tersebut.
Sepintas nggak ada yang janggal dengan Jalan Balapan Jogja, hanya jalan biasa. Karena dekat kampus, rumah-rumah di sini juga banyak yang jadi kos-kosan. Tapi, kalau ditelusuri, jalan ini agak berbeda dengan lumrahnya jalanan di Kota Jogja yang tegak lurus. Jalan ini terasa menikung hingga ke ujungnya yang tembus di Jalan Solo. Itulah puzzle yang kedua untuk menguak kejanggalan kawasan ini.
Mungkin banyak yang nggak tahu kenapa Jalan Balapan menikung. Sebab dahulu pada era kolonial jalanan ini merupakan lintasan pacuan kuda. Masuk akal kan kenapa dinamai jalan balapan? Nggak jauh beda sama Stasiun Balapan di Solo yang sama-sama bekas arena pacuan kuda.
Indonesia tak asing dengan kuda
Dalam sejarah bangsa ini, berkuda memang suatu yang nggak asing bagi masyarakat Indonesia. Jauh sebelum kendaraan bermotor merajai jalanan, kuda diandalkan untuk mengangkut manusia dan barang. Entah ditunggangi atau sebagai penarik kereta atau gerobak. Banyak wilayah di Indonesia juga punya tradisi berkuda. Nggak heran kalau kita sebenernya akrab dengan kuda. Begitupun dengan orang-orang londo juga menggandrungi berkuda. Makanya arena pacuan kuda pun bertebaran di Indonesia pada era kolonial.
Tapi seiring berjalannya waktu, pacuan kuda jadi kurang diminati dan angkat kakinya orang-orang londo itu bikin arena pacuan kuda beralih fungsi. Tanah luas bekas arena berkuda itu terus dimanfaatkan jadi pemukiman oleh pribumi. Makanya arsitektur rumah di utara Jalan Langensari nggak ada mirip-miripnya sama di kawasan selatannya.
Tapi apakah betul kawasan ini dulunya arena berkuda? Di peta Kota Jogja tahun 1920 kawasan ini sudah eksis dengan dengan nama Race-Terrein atau dapat diartikan dengan lapangan lomba. Lomba apa lagi kalau bukan pacuan kuda? Dan di peta itu, nama Jalan Solo dari perempatan Galeria ke timur disebut dengan Jalan Balapan. Kalau Race-Terrein diproyeksikan pada peta sekarang, mungkin arena pacuan kuda Langensari itu dibatasi oleh Jalan Balapan, Jalan Langensari, Jalan Munggur, dan Jalan Solo.
Jalan Balapan yang tak lagi ada rasa balapnya lagi
Dari foto tahun 1925 menunjukkan bangunan Centrale Werkplaats dari udara, kalau diperbesar akan kelihatan ada deretan rumah dan belakangnya ada sebuah tanah lapang. Deretan rumah itu dapat dipastikan rumah-rumah pegawai Centrale Werkplaats yang sampai kini nggak banyak berubah dan tanah lapang itu adalah arena pacuan kuda Langensari berupa tanah lapang tak berpohon yang dipagari oleh tiang-tiang kayu dan kawat. Di sisi utaranya ada bangunan yang membujur barat-timur yang mungkin adalah bangunan istal kuda dan tempat penonton.
Sayangnya arena berkuda tersebut bernasib sama seperti arena pacuan era kolonial lainnya. Sudah beralih fungsi, lenyap tak bersisa kecuali cuma toponim dan bentuk jalan saja. Akan mustahil untuk mengais sisa arena pacuan kuda tersebut. Kawasan ini sudah padat bangunan, rumah, kampus, dan pertokoan.
Tapi arena pacuan kuda nggak serta merta lenyap di Jogja. Di barat Stadion Sultan Agung Bantul ada arena pacuan kuda yang masih digunakan. Seenggaknya juga masyarakat Jogja kini masih tetap akrab dengan kuda, utamanya kalau dolan ke Malioboro. Tapi sayangnya ongkosnya ora nguati.
Penulis: Rizqian Syah Ultsani
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sejarah Andong Jogja: Kendaraan Elite Keraton yang Jadi Penanda Status Sosial Masyarakat