Jika kalian sedang berada di Seturan, jangan pernah sekali-kali lewat Jalan Amarta!
Perkenalkan saya Ismail, Asli (m)Bantul, seorang driver online atau biasa sering orang menyebut ojol. Kebetulan saya menjadi ojol sejak tahun 2017 dan masih aktif sampai sekarang. Banyak cerita menarik yang saya alami dari hal yang kocak, nyebai sampai hal yang membuat saya trauma.
Kali ini ada satu cerita, uneg-uneg, atau opolah istilahe, tentang suatu jalan yang hanya sekali saja saya lewat di situ dan nggak akan pernah lagi saya mau lewat, yaitu Jalan Amarta Seturan. Alasannya cuma satu, KAPOK!!!
Baiklah, langsung saja kita ngerasani jalan jahanam ini.
Daftar Isi
Letak Jalan Amarta, Seturan
Jalan Amarta, salah satu jalan yang terletak di Seturan, Caturtunggal, Depok, Sleman, tepatnya samping selatan Sekolah Budi Mulia Dua. Biasanya jalan ini dipakai sebagai salah satu penghubung antara Jalan Seturan Raya menuju Apartemen Vivo dan Kampung Puluhdadi. Panjang jalan ini kurang lebih 50 meter. Namun jangan salah, meski hanya ukurannya pendek-jalan ini mempunyai cerita yang membuat pengendara akan trauma setelah melewatinya.
Bagi orang yang baru liat jalan ini, pasti akan merasa ada sesuatu yang tidak beres. La piye ya, jalan ini satu-satunya jalan yang agak gelap karena ditutupi oleh pepohonan, batas tembok di kanan kirinya seperti lorong. Di samping itu, genangan air yang luas membuat yang melihatnya seakan-akan seperti sedang berada di jalan menuju hutan mangrove. Padahal, Seturan itu salah satu kawasan yang padat mahasiswa dan salah satu pusat jajanan.
Kok yo ada model begini, mungkin itu rasan-rasan pertama yang akan kalian katakan. Belum lagi ketika kalian melewati jalan ini pada waktu malam hari, horornya akan lebih terasa.
“Perkenalan” saya dengan Jalan Amarta
Sekitar 2017, saya pernah dapat orderan pizza yang harganya sekitar Rp250.000,- dengan pengantaran di Vivo Apartemen. Ketika saya hampir sampai ke lokasi pengantaran, Google Maps mengarahkan saya ke Jalan Amarta.
“Masak siang-siang gini dan nggak musim hujan tapi kok jalannya ada genangan airnya ya?”, curiga saya dalam hati dengan jalan ini.
Tapi ya sudahlah, tapi tanpa berpikir lama saya lewat saja ke jalan tersebut.
“Broookk….”, Tiba-tiba saya jatuh beserta pizza yang saya bawa. Tak disangka, ternyata jalan ini penuh dengan jeglongan yang lebar dan cukup dalam.
”Jiaaannngggkriiikkk…..” Spontan saya misuh dengan penuh kekesalan.
Saya nggak tau harus ngomong apa. Jaket dan celana saya basah semua. Belum lagi pizza customer jatuh semua sampai nggak ada yang layak diselamatkan karena sudah banyak air yang masuk ke dalam makanannya. Sialnya lagi, handphone saya juga ikutan nyemplung yang bikin sebagian layarnya agak blawur, walau masih bisa diselamatkan. Perasaan saya campur aduk, nggak tau lagi harus gimana, pengen misuh-misuh terus. Terpaksa saya telpon customer saya dan bilang cerita yang saya alami.
“Woalah, Mas, kok lewat situ? Itu jalannya banyak lubangnya, kenapa nggak lewat Gang Tomo?”, jawab si customer tanpa ada rasa iba, kasihan aja nggak ada. Saya nggak berani menyanggah atau membantah, hanya bisa jawab “iya”. Hanya saja di dalam hati saya sangat kesal. “Kenapa nggak bilang dari tadi kalo jalannya ada yang rusak, Coookkk?” Bicaraku dalam hati sambil nahan kesal.
Uang melayang gara-gara lubang jahanam
Uang 250 ribu melayang
Karena saya termasuk ojol yang menghindari berdebat dengan customer karena alasan “keamanan status” saya sebagai ojol, akhirnya saya harus merelakan uang Rp250.000 melayang begitu saja. Bukan Cuma itu, Layar HP saya juga rusak karena nyemplung genangan itu.
Ketika saya memutuskan untuk makan di Padang Murah, lokasinya tak jauh dari lokasi tersebut-ada mas mas ojol yang kebetulan juga lagi makan di situ. “Loh kenapa kok basah kuyup?”, tanya dia sambil kaget.
“Tadi nganter orderan ke Apartemen Vivo lewat Jalan Amarta, Mas. Terus jatuh karena ada jeglongan.”
“Lah, Kok lewat situ, Mas? Di sini nggak ada yang berani lewat situ, jalannya parah banget”, Kata Mas Ojolnya sambil mringis tanpa dosa.
Maklum, saya pada saat itu masih newbie jadi ojol, culun, dan baru mengenal jalan itu karena saya biasa ngetem di Jalan Colombo. Sekarang ya sudah ahli, helmet level 3. Bahkan, cukup lihat titik pengantaran saja saya sudah tau akan lewat jalan mana. Sombong sedikit nggak apa-apa kan yaaa.
Wis kapok
Semenjak kejadian itu, saya berjanji dalam lubuk hati saya yang paling dalam, tidak akan pernah lagi lewat Jalan Amarta Seturan. Benar-benar jalan paling jahanam yang pernah saya lewati. Lebih baik lewat jalan lain meski ngalang tapi selamat.
Ojol di Jogja kebetulan punya grup portal informasi di Facebook, Ya mirip-mirip sama Info Cegatan Jogja gitulah. Misalnya yang paling rame dan udah lumayan lama terbentuk itu Gojek Seputar Jogjakarta dan Info Seputar Grab Jogja. Di sana memuat banyak cerita menarik para ojol Jogja mulai dari hal kocak, mistis, hingga babagan sambat berjamaah.
Selama saya join grup itu, ternyata banyak sekali yang memposting kisah mereka tentang Jalan Amarta. Ada yang nganter penumpang sampai penumpangnya jatuh ngglinding, ada yang jatuh sampai HP-nya matot karena terendam air, bahkan ada seorang driver car yang mengantar penumpang melewati jalan tersebut dan terjadi kendala hingga bemper mobilnya rusak.
Banyak cerita yang mungkin akan terlihat kocak ketika kita mendengarkannya. Tapi bagi yang mengalami, hmmm. Mungkin jalan ini termasuk “zona bebas klitih” saking nggak ada yang mau lewat sini.
Bagi yang sudah lama tinggal di Seturan, pasti tidak akan ada yang mau melewati jalan itu-terutama Akamsi dan para ojol yang sudah sangat familiar dengan jalan tersebut. Mungkin semacam tindakan tanpa komando. Apabila ada yang lewat situ, bisa dipastikan mereka itu maba (mahasiswa baru) atau mungkin orang yang tidak tau sama sekali bagaimana kondisi jalan tersebut, seperti saya dulu.
Nggak kunjung direnovasi
Banyak yang mengeluhkan jalan tersebut kenapa tidak ada yang mau merenovasi. Saya sempat tanya teman-teman saya bahkan warga setempat-mereka juga tak ada yang tau. Apakah perangkat desa setempat tidak tau atau memang lalai?
Saya tidak tau perbaikan jalan di sini apakah wewenangnya pemerintah desa, kecamatan, atau kabupaten. Tapi, mbok tulung siapa saja yang berwenang segeralah perbaiki jalan tersebut. Kasihan para maba yang masih unyu-unyu dan belum terkontaminasi apa pun harus menanggung sialnya. Belum lagi kerugian yang dialami seperti saya dulu. Masak dari 2017 sampai sekarang nggak ada perubahan.
Apalagi Seturan termasuk kawasan jajanan, penginapan, dan aktivitas perkuliahan. Tentu bisa bayangkan se-crowded apa. Mau sampai kapan Jalan Amarta memakan korban lagi? Atau jalan itu mau dijadikan kolam buat ternak garitel? Nggak sekalian bikin acara Mancing Galatama aja di situ? Mah demes kok.
Saran saya buat perangkat desa Caturtunggal, segeralah perbaiki Jalan Amarta supaya masyarakat nyaman melewatinya. Atau kalau memang tidak mau perbaiki, mending jalannya dicor tembok wae.
Penulis: Rizky Benang
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Menyimak Perdebatan Penikmat Djarum Super dan Gudang Garam yang Tak Ada Habisnya