Beberapa waktu yang lalu, bekas kampus saya di Jakarta masuk ke dalam daftar kampus terbaik di Indonesia. Kalau mengingat masa lalu, saya nggak habis pikir, deh. Jadi, setelah saya masuk kampus itu, ternyata ya nggak baik-baik banget.
Tentu saja yang saya maksud bukan kampusnya. Kampus tersebut tetap salah satu yang terbaik di Indonesia. Fakta keras, no debat. Yang saya maksud adalah orang-orang di dalamnya: oknum mahasiswanya.
Ketika mendapatkan informasi bahwa kampus di Jakarta itu menerima saya, bayangan pertama yang muncul di benak saya adalah “nyantri”. Bagaimana tidak, di benak saya, kampus itu mempunyai pesona agamis penuh ajaran Islam di mana semua mahasiswa meresapinya. Yah, mirip pesantren kilat, lah. Namun ternyata, kampus ini tidak sebaik yang orang-orang pikirkan.
Ulah oknum mahasiswa mematahkan bayangan saya yang indah akan kampus tercinta ini. Ternyata, ada sisi negatifnya juga. Seperti kata pepatah, “Sepintar-pintarnya menutup bangkai, baunya akan tercium juga.”
Daftar Isi
Awal masuk ke sebuah kampus islami di Jakarta
Saya masuk kampus tersebut pada 2014. Waktu masuk, saya nggak kaget-kaget banget sama mata kuliah yang ada di sini. Dulu, waktu menempuh pendidikan dasar dan menengah pertama, saya masuk ke Ibtidaiyah (SD) dan Tsanawiyah (SMP).
Tahun pertama menjadi tahun yang berat bagi saya. Alasannya, saya harus mulai membiasakan kembali kebiasaan yang sudah lama saya tinggalkan waktu SMP, yaitu membaca Al-qur’an. Meskipun demikian, saya merasa beruntung juga karena kampus di Jakarta itu mengarahkan saya untuk menjadi a good muslim.
Masuk tahun kedua dan ketiga, saya semakin tidak merasa seperti anak kuliah yang bener. Saya jarang masuk kelas dan memilih untuk nongkrong dari satu fakultas ke fakultas lain. Nah, pada fase ini, saya menemukan temuan yang membuat saya sendiri tidak mempercayainya (awalnya).
Sisi gelap kampus di Jakarta
Pasti pembaca sudah sangat memahami apa itu “ayam kampus”. Awalnya, saya tidak terlalu peduli dengan keberadaan mereka. Gimana ya, “bermain wanita” tidak pernah menjadi passion saya. Jujur saja, saat itu, mungkin saya adalah satu-satunya “orang cupu” di circle saya di Jakarta. Entah apa sebabnya, ketertarikan saya terhadap wanita tidak seperti teman-teman saya yang lain.
Saat itu, yang paling saya sukai hanya mabuk dan nongkrong di depan Sekretariat Dewan Eksekutif Mahasiswa. Mabuk dan ngomongin orang. Kombinasi yang menyenangkan.
Makanya, saya agak kaget ketika mengetahui ternyata kampus saya juga tidak luput dari cap “sarang ayam kampus”. Saya mengetahui cap itu dari teman saya. Waktu kami sedang nongkrong, dengan bangganya dia bilang, “Gue semalam abis kelonan sama dia.”
Sontak tongkrongan yang tadinya sepi karena sedang sibuk dengan gadget masing-masing, berubah menjadi heboh. Banyak pertanyaan muncul:
“Sama siapa?”, “Anak fakultas mana?”, “Mantep nggak?”, “Main di mana?”, hingga “Sama si itu bukan?”
Pertanyaan demi pertanyaan terus muncul hingga teman saya nggak bisa menjawab dengan lancar. Dia lalu duduk diam selama beberapa waktu, lalu mengeluarkan sebatang rokok. Kami semua kompak meletakkan gadget masing-masing dan siap mendengarkan ceritanya.
Fakta yang membuat saya kaget
Selesai mendengarkan cerita teman saya, saya justru termenung. Bukan karena iri, tapi terkejut. Ternyata, kampus di Jakarta yang bernuansa agamis ini juga memiliki mahasiswa seperti itu.
Tentu saja kita nggak bisa menyalahkan kampusnya. Kampus tentu nggak bisa mengawasi mahasiswanya selama 24 jam. Lagian, mungkin, banyak kampus besar menyimpan sisi gelap yang sama. Saya rasa, cerita seperti ini juga ada di banyak kota besar selain Jakarta.
Nah, fakta yang membuat saya tertegun adalah ketika mengetahui “ayam kampus” yang dimaksud adalah teman saya. Kenal baik malah. Tapi ya sudah. Saya tidak mau terlalu mengurusi karena itu kehidupan pribadi orang lain. Saya tidak punya hak untuk menghakimi. Lagian mereka juga tidak mengganggu kehidupan saya.
Cap yang sudah melekat sejak lama
Informasi yang saya dapat tadi ternyata bukan hal baru. Cap ini bahkan sudah ada sejak lama. Cuma saya saja yang nyatanya memang kurang update. Kata orang, kampus di Jakarta tersebut memang sudah terkenal sejak lama sebagai “sarangnya mahasiswi solehot”.
Masalahnya, banyak teman-teman dari kampus lain yang membenarkan anggapan itu. Bahkan ada juga yang bertanya kepada saya. Lebih tepatnya minta dikenalin. Ketika saya menolak, teman saya langsung kecewa. Katanya, “Sesekali nakal sama cewek, lah!” Hadeh.
Semakin banyak mendapatkan informasi, saya semakin penasaran. Akhirnya, atas nama penasaran, saya meneliti lebih jauh. Saya mulai bertanya-tanya. Rata-rata dari fakultas mana, semester berapa, dan tinggalnya di mana. Ternyata, para “solehot” ini kebanyakan yang berasal dari perantauan dan memilih untuk kos.
Saya mulai meneliti, kira-kira kalau di Jakarta, mereka tinggal di kos yang mana. Yang masuk akal, pasti mereka mencari kos yang bebas. Satu nama langsung muncul, yaitu Kos (SENSOR). Kita sebut saja “kos itu”.
Ternyata dugaan saya benar. Di “kos itu”, mereka berkumpul. Bukan tempat berkumpul, sih. Lebih ke tempat di mana mereka “tidak sengaja” jadi berkumpul. Bukan tanpa alasan mereka berada di kos ini karena termasuk murah. Selain itu, nggak ada aturan yang ketat banget. Pokoknya bebas banget.
Tempat “berkumpul” yang menjadi legenda di Jakarta
Berbagai macam jenis manusia ada di “kos itu”. Mulai dari pasangan suami-istri, pasangan anak-anak jalanan, pasangan yang “maksa” untuk menjadi pasangan, mahasiswa-mahasiswi yang tinggal bareng, bahkan sampai gembong narkoba juga pernah tinggal di “kos itu”.
Selain “kos itu”, teman sekampus juga memberi informasi bahwa ada 1 tempat lagi “untuk berkumpul”. Kita sebut saja “apartemen” untuk kelonan anak muda yang berada di dekat kampus saya di Jakarta.
“Wah, yang itu kelas kakap!” Ujar teman saya.
Setelah meneliti lebih lanjut, “apartemen” ini punya “hubungan erat” dengan salah satu aplikasi bernama MiChat. Yah, kata orang, “apartemen” ini sarangnya mereka yang biasa janjian pakai aplikasi itu.
“Apartemen” ini sebetulnya ya sama seperti apartemen di Jakarta pada umumnya. Namun, karena letaknya yang berada di pinggiran dan murah, “apartemen” ini menjadi tujuan kelonan berbayar. Apalagi, di “apartemen” ini kamu bisa menyewa secara shortime, yaitu per 3 jam.
Saking buruknya stigma yang melekat, setiap melihat orang yang kita kenal ada di sana, langsung kena tembak kalimat: “Habis jajan, ya!” Sialan, batin saya, karena ya nggak semua orang yang menginap di sana pasti jajan kelon.
Sebetulnya, ya, “apartemen” dekat kampus saya di Jakarta itu nyaman dan enak untuk staycation. Tempatnya tuh rimbun pepohonan, bikin sejuk. Di sana ada kolam renang dan public space juga. Cocok banget untuk sekadar “ganti suasana” selama beberapa waktu. Namun ya balik lagi. Pikiran-pikiran orang sudah kadung buruk terhadap tempat ini. Akibatnya tempat ini jadi sepi dan seperti kurang terawat.
Mari berpikir secara adil untuk kampus saya
Oya, satu hal lagi, nggak cuma kos bebas yang menjadi melting pot kelon berbayar. Kos eksklusif ya ada juga yang menjadi tempat begituan. Mereka itu kayak kamuflase setelah mengedepankan privasi dan kenyamanan.
Nggak jauh beda sama apartemen, cuma skalanya lebih kecil saja. Sama-sama mempunyai sistem keamanan yang sulit ditembus. Tidak seperti kos biasa di mana aparat kalau mau menggerebek bisa langsung saja tanpa prosedur rumit seperti apartemen dan kos eksklusif.
Sebetulnya, khususnya di Jakarta, apartemen sebagai melting pot kelon berbayar bukan rahasia lagi. Ada beberapa apartemen di daerah Depok, Ciledug, dan beberapa daerah di Jakarta Selatan khususnya, yang telah menyandang gelar “sarang PSK”.
Kos-kosan juga sama saja, sih. Nggak jauh beda menyandang cap jelek untuk kelon berbayar. Dan, nggak cuma kampus saya yang menjadi “korban” di sini. Cuma, kebetulan, saya pernah kuliah di sana. Bisa jadi, ada pembaca yang mau spill the tea tentang prostitusi di sekitar kampus? Saya yakin bakalan seru. Hehe.
Penulis: Saar Ailarang Abdullah
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Open BO via MiChat, Alternatif Prostitusi Bagi Mahasiswa Penjaja Cerita Seksual