Nenek saya bernama Semi. Sederhana sekali kan, namanya? Tapi perjalanan hidupnya tidak sederhana seperti namanya.
Ia dinikahkan pada usia 12 tahun. Usia yang normal saat itu, tapi tetap membuatnya kaget bukan kepalang. Karena tidak mau dinikahi, ia ngumpet di kandang sapi selama 3 hari. Dan karena kasihan, si suami yang usianya 23 tahun dan merupakan anak kepala desa itu akhirnya mengalah. Ia mengembalikan nenek saya ke orang tuanya.
Kembalilah nenek saya ke masa kanak-kanaknya yang normal. Gerbang pernikahan yang tidak ditentangnya baru ia masuki pada usia 18 tahun. Ia menikah dengan seorang pemuda desa yang kala itu merupakan simpatisan Bung Karno.
Pernikahan nenek saya ini sempat ditentang. Sebab keluarga kakek saya dinilai tidak setara dengan keluarga nenek. Tapi toh akhirnya ia nekat juga hidup bersama kakek saya. Dan dari titik start itu, ia melahirkan 10 orang putra dan putri. Ibu saya adalah anaknya yang paling bungsu.
Cinta nenek saya pada kakek saya bukan tanpa alasan. Nenek saya sendiri pernah bilang bahwa ia menyukai kakek saya karena kakek saya ini pemberani. Kakek saya orang yang sangat idealis. Ia bahkan nekat kuliah meski dengan gaji bulanan yang tak menentu.
Ada banyak kisah yang bisa diceritakan orang-orang mengenai kakek saya. Mengenai suara lantangnya, keramahannya saat bergaul dengan warga desa, sampai kepercayaan dirinya yang tak dimiliki semua orang.
Tapi di balik sorot lampu itu, ada nenek saya yang memendam banyak hal. Cintanya yang mula-mula membara berubah menjadi nyanyi sunyi yang penasaran. Tidak lebay, tapi memang demikianlah yang terjadi.
Saya bukan mau menyalahkan kakek saya, tapi ada alasan kenapa nenek saya pernah bilang bahwa ia ragu apa suaminya betul mencintainya atau tidak. Ia bertanya-tanya, jangan-jangan suaminya lebih mencintai idealismenya dibanding dirinya.
Nenek saya mengorbankan banyak hal demi kakek saya. Ia menghabiskan hidupnya di dapur untuk memasak, di rumah untuk mendidik 10 anaknya, dan di ruang tamu untuk menunggu suaminya pulang.
Mungkin Anda mengira itu romantis. Bukankah begitu mestinya pengorbanan seorang istri untuk suaminya? Romantisme seperti ini dikisahkan di banyak film, di banyak buku, dan di banyak obrolan di warung-warung. Para perempuan di balik pria idealis selalu digambarkan sabar, cantik, dan suportif.
Tapi berpikir kembali mengenai kehidupan nenek saya membuat saya agak ngelu. Saya merasa ia tidak menjalani kehidupannya sendiri. Ia hanya berperan sebagai tokoh figuran. Ia tak mengejar mimpinya, ia tak bisa berekspresi di masyarakat, dan ia pun terus menunggu suaminya pulang kala larut malam.
Ia mempersembahkan seluruhnya demi suaminya. Dan ia terus bertanya apakah suaminya betul-betul mencintainya? Ia kerap berprasangka, otak dan pikiran suaminya selalu tertinggal di caping pak tani yang ia temui. Hatinya seolah terpaku pada nenek renta yang ingin ia perjuangkan nasibnya.
Kakek saya menjalani hidup yang ia impikan. Dan ia dikenang oleh banyak orang sampai hari ini. Meski kemudian ia ikut diciduk dalam peristiwa 1965. Nenek saya seolah mengalami dua musibah akibat peristiwa itu. Ia bukan hanya kehilangan suami, tapi juga kehilangan arah hidupnya yang selama ini ditujukan untuk menopang idealisme suaminya.
Tapi saya tahu nenek saya bukan satu-satunya. Ada sangat banyak “Semi” lain di luar sana. Ada yang mencoba memantapkan diri bahwa memang itulah jalan hidup seorang istri. Namun, ada pula yang tak pernah selesai bertanya mengenai makna kehidupannya.
Saya pernah bilang begini pada teman saya yang aktivis. Teman saya yang perempuan itu angkat jempol atas perjuangan kakek saya di masa lalu. Tapi saya bilang padanya, “Kakek saya bukan suami yang baik.” Ia membiarkan istrinya yang memberikan segalanya terus-menerus menderita. Pasalnya kakek saya jarang pulang dan sebagian besar waktunya dihabiskan di luar.
Apakah kakek saya juga merupakan ayah yang buruk? “Iya,” kata Ibu saya suatu kali. Ia menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Tapi sampai akhirnya ia diciduk pun, ia belum bisa memenuhi janjinya mengajak anak-anaknya ke pantai bersama.
Ketika saya menonton TV dan membaca biografi publik figur di koran, sering bertanya soal sosok istri di baliknya. Apakah mereka merasa bahagia dengan hidupnya? Apakah mereka merasa berkorban terlalu banyak? Apakah mereka adalah Semi-Semi yang lainnya?
BACA JUGA Dari Warung Kopi untuk Kedaulatan Istri dan tulisan Nar Dewi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.