Kalau di Indonesia isu pernikahan masih terbilang “aman” dan seputar pertanyaan saat Lebaran, di Jepang pernikahan menjadi masalah negara yang cukup krusial dan ramai diperbincangkan. Hal ini dikarenakan negara Jepang mengalami shoushika (menurunnya jumlah kelahiran anak) yang cukup menyita perhatian dunia.
Usia rata-rata menikah anak muda Jepang mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2020, rata-rata usia pertama menikah anak muda Jepang adalah 29,7 tahun. Padahal setelah Perang Dunia II, angka tersebut hanya berkisar pada 24,7 tahun. Orang Jepang yang memilih tidak menikah juga mengalami peningkatan.
Benarkah isu pernikahan ini sangat erat kaitannya dengan piramida penduduk yang menjadi masalah krusial negara Jepang?
Isu pernikahan: Perubahan kriteria pasangan hidup dari zaman ke zaman
Menikah dan berumah tangga dengan pasangan hidup yang didamba tentu menjadi impian semua orang. Namun, dalam masyarakat homogen seperti Jepang, kriteria pasangan bisa menjadi seragam dan sama bagi setiap orang, lho. Ternyata kriteria pasangan ideal yang didamba anak muda Jepang mengalami perubahan dari zaman ke zaman.
Pada zaman Taisho dan Showa, laki-laki ideal adalah kriteria san-kou. San-kou adalah kou-gakureki (tinggi pendidikannya), kou-shuunyuu (tinggi penghasilannya), dan kou-shinchou (tinggi badannya). Perempuan Jepang zaman dulu didoktrin untuk menjadi ryosai-kenbo, yakni istri yang baik dan ibu yang bijak.
Oleh karena itu, memiliki suami yang berpendidikan dan berpendapatan tinggi adalah cita-cita perempuan Jepang kala itu. Sebaliknya, perempuan yang didamba laki-laki Jepang kala itu adalah perempuan yang bisa menjadi istri yang baik dan bertugas mengurus keperluan anak dan suami, serta pekerjaan rumah tangga lainnya.
Namun, pada awal zaman Heisei, saat perempuan Jepang mulai mengenyam dunia pendidikan dan banyak yang mulai berkarier, kriteria itu pun berubah menjadi san-tei. San-tei adalah tei-shisei (menghargai perempuan), tei-risuku (pekerjaan minim risiko alias mapan), dan tei-izon (bisa bekerja sama).
Pada zaman ini, banyak sekali paham dari Barat yang masuk ke Jepang dan mulai memengaruhi pemikiran perempuan, terutama soal kesetaraan gender. Perempuan berhak mendapatkan akses pendidikan dan pekerjaan yang sama dan setara seperti laki-laki. Saat itu, laki-laki Jepang masih mendamba perempuan yang bisa menjadi istri yang baik dalam urusan rumah tangga maupun membesarkan anak. Tak sedikit perempuan yang akhirnya berhenti bekerja setelah menikah dan punya anak atau memang hanya bekerja paruh waktu.
Perubahan kriteria terakhir terjadi pada tahun 2000-an, saat perempuan bisa berkarier gemilang dan berpenghasilan tinggi seperti laki-laki. Kriteria idaman perempuan Jepang adalah san-te, yakni te o toriau (saling mengerti dan bekerja sama), te o tsunagu (mencintai), dan te-tsudau (membantu pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak).
Ketika perempuan Jepang sekarang ingin menikah, mereka mendamba laki-laki pengertian yang mau diajak bekerja sama mengurus pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak sekaligus. Namun, laki-laki Jepang sekarang terpecah menjadi dua kubu, yakni yang mendukung istrinya ikut bekerja demi berbagi beban kebutuhan ekonomi bersama atau yang seperti sebelumnya, yakni istri menjadi ibu rumah tangga dan bekerja paruh waktu saja.
Isu pernikahan: perjodohan
Akibat kriteria idaman ini, banyak orang tua zaman dulu yang memercayakan urusan calon menantu ke perantara perjodohan. Mereka menginginkan menantu laki-laki yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi, atau sebaliknya menantu perempuan yang baik dan penurut.
Akan tetapi, pengaruh dari Barat menyebabkan pernikahan perjodohan (miai kekkon) ini mulai ditinggalkan. Banyak anak muda Jepang kala itu yang akhirnya memilih menikah dengan pilihannya sendiri atas dasar cinta (ren’ai kekkon=pernikahan cinta). Setidaknya sampai sekarang, pernikahan cinta inilah yang masih diyakini baik oleh anak muda Jepang.
Lantaran kesibukan bekerja dan fokus meniti karier, kesempatan menemukan pasangan hidup yang tepat hampir sulit dilakukan oleh anak muda Jepang sekarang. Bayangkan saja, mereka bekerja dari pagi sampai larut malam dan kadang akhir pekan pun masih diajak pertemuan bisnis oleh atasan mereka.
Untuk mengakalinya, akhirnya mereka juga menggunakan aplikasi kencan. Berkenalan, bertemu, dan kalau merasa cocok, mereka akan lanjut ke jenjang yang lebih serius. Ada juga yang mendaftar biro jodoh. Biasanya biro jodoh akan mengadakan pertemuan atau tur perjodohan dengan syarat-syarat tertentu. Ada juga yang mengadakan pertemuan kecil-kecilan dengan teman-teman lawan jenisnya dan saling memperkenalkan diri.
Ternyata perjodohan di Jepang kembali marak sekarang, ya. Yang perlu digarisbawahi, alasan utama anak muda Jepang masih berusaha untuk menikah adalah karena ingin bersama orang yang dicintainya (49,4%), punya anak (13, 7%), dan juga karena usia yang tak lagi muda (8,8%). Di Jepang, sangat biasa bagi pasangan laki-laki perempuan yang tinggal bersama sebelum pernikahan dan baru menikah kalau dirasa sudah perlu.
Jumlah kelahiran anak yang semakin menurun
Sebenarnya kalau bukan karena jumlah penduduk yang semakin menurun dan jumlah kematian lebih tinggi dibanding jumlah kelahiran tiap tahunnya, mungkin pemerintah Jepang tak perlu repot-repot “memaksa” anak mudanya menikah dan melahirkan anak. Bayangkan saja, pada tahun 2010 ada 1.071.000 kelahiran sedangkan jumlah kematiannya 1.197.000 di Jepang. Lalu, pada tahun 2020 hanya ada 902.000 kelahiran, sedangkan ada 1.414.000 jumlah kematian di Jepang.
Selain tunjangan anak per bulan yang tak sedikit ditambah subsidi kesehatan dan pendidikan, pemerintah Jepang juga memikirkan kebijakan lain untuk mengatasi masalah piramida penduduk ini. Mereka sangat mendukung perusahaan yang membiarkan pekerjanya pulang tepat waktu agar memiliki waktu untuk keluarga maupun pasangannya. Fasilitas daycare juga diperbanyak dan dipermudah prosedurnya untuk mengatasi masalah pengasuhan anak selama ayah ibunya bekerja.
Sayangnya, menikah ternyata bukan sesuatu yang penting lagi bagi anak muda Jepang sekarang. Alasan perempuan muda Jepang masih menunda pernikahannya karena belum menemukan pasangan yang cocok (51,3%), tidak ingin kehilangan kebebasan dan kesenangannya (31,1%), dan belum merasa perlu menikah (30,4%). Padahal alasan ini juga sama seperti yang dirasakan laki-laki muda Jepang, belum menemukan pasangan yang cocok (46,2%), belum merasa perlu menikah (31,2%), dan belum mampu secara ekonomi (30,3%).
Pernikahan memang menjadi kebebasan individu yang sebaiknya tidak perlu dicampuri dan diatur oleh negara. Akan tetapi, kalau dampaknya sampai memengaruhi stabilitas nasional, tentunya bukan hal yang bisa dibiarkan begitu saja. Bukankah kalau sudah begini, menikah dan melahirkan anak juga bisa menjadi salah satu aksi menyelamatkan negara?
Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Nyatanya, Keluarga Jepang seperti Chibi Maruko-chan Sudah Hampir Nggak Ada.