Betapa Bahagianya Jadi Warga Gunungkidul, Jadi Turis di Kampungnya Sendiri

Betapa Bahagianya Jadi Warga Gunungkidul, Jadi Turis di Kampungnya Sendiri

Betapa Bahagianya Jadi Warga Gunungkidul, Jadi Turis di Kampungnya Sendiri (Pixabay.com)

Pembangunan wisata baru di Gunungkidul semakin gencar dilakukan. Hampir setiap desa di Bumi Handayani memiliki obyek wisata unggulan. Tak ayal, wisatawan yang dulunya cuma berpusat di pantai selatan saja, kini mulai merambah ke pelosok-pelosok desa.

Salah satu tempat wisata hits Gunungkidul yang selalu ramai dikunjungi wisatawan saat hari libur dan suka bikin macet jalanan adalah HeHa Sky View (HSV). Wisata kekinian yang berada di kawasan bukit Patuk, Gunungkidul, ini menawarkan pemandangan alam dan Kota Jogja yang memesona dari atas ketinggian. Dengan mengombinasikan konsep selfie spot, park, dan cafe, HSV menjadi wisata alternatif buat para pelancong yang bosan ke pantai selatan.

Selain menyajikan aneka menu makanan kekinian, HSV juga menyediakan spot foto yang (katanya sih) Instagrammable. Ya, ada beberapa spot foto yang tersedia di lokasi ini, seperti sky glass, selfie garden, reflecting pool, wall climbing, sky balloon, dan masih banyak lagi. Pokoknya buat kalian yang cah Instagram banget, tempat ini cukup menggairahkan berswafoto.

Beberapa waktu lalu saya datang ke HSV. Dan setelah itu, saya memutuskan, sepertinya itu bakal jadi kunjungan terakhir saya. Bukan apa-apa, cuma saya sadar diri saja, sebagai kawula dompet UMR Jogja rasa-rasanya kok kayak kurang pantas saja nongkrong di sana. Ya, gimana, tiap kali mau foto di photobooth yang disediakan, harus merogoh kocek mulai dari 10 ribuan sampai 30 ribu gek, Cah.

Harga tersebut belum termasuk biaya tiket masuk, parkir motor, dan pesan makanan lho. Saat itu, saya bayar tiket masuk 20 ribu, parkir motor 5 ribu, makan ayam goreng 49 ribu, dan spot foto sky glass 30 ribu. Artinya, sekali memutuskan untuk nongkrong di HSV harus sedia kocek sekitar 150 ribu. Itu belum ngisi bensin lho. Kalau ngajak pacar, ya, minimal dompet harus terisi 300 ribu lah, ya.

Nggak sedikit wisatawan luar daerah Gunungkidul yang kaget saat berkunjung ke HSV dan lihat harga spot foto di sana. Lucu syekali ya, mereka yang orang luar daerah saja keberatan, lho, lalu apa kabar dengan kami, warga lokal, yang harus bayar biaya foto di kampungnya sendiri? Apa kabar dengan kami yang besaran UMK-nya Rp1.900.000 ini???

Jadi turis di kampung sendiri

Tanah kelahiran saya, Gunungkidul, harus diakui memang menyimpan eksotisme alam yang luar biasa. Banyaknya tempat yang menawarkan panorama keindahan alam ini membuat otoritas setempat, yang didukung para pemodal “berlomba-lomba” membuka wisata baru di kampung halaman. Katanya sih ingin meningkatkan taraf ekonomi, tapi entah kenapa selalu berujung jadi turis di kampung sendiri.

Niat Pemkab menjadikan Gunungkidul sebagai destinasi wisata internasional tampaknya nggak main-main. Ini bisa dilihat dari pembangunan Jalan Jalur Lintas Selatan (JLS), membuka wisata hingga pelosok desa, dan penataan kota yang semakin masif dilakukan pihak Pemkab. Skema menjadikan wisata internasional ini tertuang jelas dalam buku Gunungkidul The Next Bali karya Cyrillus Harinowo.

Dalam buku berwarna biru laut itu, Pak Bupati dan Pak Cyrillus bersepakat bahwa nantinya Gunungkidul diharapkan menjadi “Bali baru”. Terus terang saya nggak tahu apa yang dimaksud dengan “Bali baru” itu. Tapi ya, sudahlah, barangkali para penentu kebijakan ini ingin melihat bule-bule datang menikmati keindahan panorama alam Gunungkidul, kayak yang saat ini terjadi di Pulau Bali. Meski Bali dan Gunungkidul secara geografis dan kultur beda jalur, pokoknya iyain dulu aja deh.

Lagian, kenapa harus kayak Bali sih? Senengane kok mbanding-bandingke ki, lho. Biar apa?

Selain itu, buku 275 halaman ini juga mendorong agar para investor mau berbondong-bondong datang dan menanam modal di Gunungkidul. Dengan begitu, nantinya rencana wisata internasional ini diharapkan mampu meningkatkan taraf ekonomi warga lokal. Sungguh cita-cita mulia yang sejak dulu sudah sering saya dengar dari para pembuat kebijakan. Wis khatam!

Jika ada orang yang bertanya apakah warga lokal benar-benar dilibatkan dalam pengelolaan tempat wisata di Gunungkidul, maka jawabanya adalah iya. Betul, warga sekitar akan dilibatkan dalam proyek wisata. Yah, meski cuma bekerja dua minggu sampai satu bulan di tempat wisata karena dipecat, dibuang, disingkirkan secara terstruktur resign dan berakhir jualan es degan di pinggir jalan, setidaknya warga pernah merasakannya. Lumayan kan, ya?

Warga lokal Gunungkidul memang sudah sangat terbiasa “memuliakan” para pemodal yang membeli tanah untuk membuka wisata di kampung halaman. Saat investor datang, biasanya kami diiming-imingi mau dilibatkan dalam pengelolaan wisata. Sebagai rakyat kecil biasa, tentu warga nggak bisa apa-apa. Janji-jani meningkatkan taraf ekonomi pun dikumandangkan oleh pemangku wilayah. Tapi ya, sebatas itu saja, sisanya warga cuma jadi penonton, yang kalau mau masuk kawasan wisata tetap kudu bayar biaya retribusi.

Menjadi asing di tanah kelahiran sendiri adalah realitas sesungguhnya yang dihadapi warga Gunungkidul. Bahkan, untuk sekedar foto-foto di lokasi wisata pun, kami sebagai warga lokal harus bayar dengan biaya mahal. Sebuah kenyataan yang saya kira nggak cuma terjadi di tanah kelahiran saya saja, tapi di daerah lain juga.

Kampung halaman yang dulu asri, sejuk, dan jadi pelipur lara dari bisingnya kota raya, kini dijadikan ajang menumpuk pundi-pundi harta buat segelintir orang saja. Sebagai warga lokal biasa, nggak banyak yang bisa kami lakukan selain melihat kemacetan dan sampah-sampah berserakan di pinggir jalan. Dan, akhirnya kami juga yang akan menanggung akibatnya.

Betapa lucunya lahir di kampung dengan pesona alam yang menakjubkan ini. Tuhan yang sesungguhnya memberikan keindahan ini, kemudian kami dipasrahi para leluhur untuk menjaga dan merawatnya. Tapi, kemudian “orang-orang pintar” datang memaksa kami untuk bayar mahal setiap kali mau swafoto bersama keluarga. Ya, kami harus “membeli” tanah kelahiran sendiri. Wonderful Indonesia!

Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Wonogiri dan Gunungkidul, Saudara Kembar Beda Nasib

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version