Pernah dengar soal Dusun Bunten di Bojonegoro yang katanya berada di pedalaman dan nyaris nggak pernah dikunjungi anggota DPRD?
Saat masih sekolah dulu, saya sering ikut almarhum bapak saya piket. Bapak saya adalah seorang polisi yang bertugas di Kedungadem, sementara rumah kami ada di Baureno. Meskipun kedua daerah tersebut masih masuk wilayah Kabupaten Bojonegoro, keduanya berada di kecamatan yang berbeda dan lokasinya berjauhan. Oleh karena itu saya sangat suka ketika diajak piket, sebab saya merasa seperti sedang piknik ke tempat yang jauh.
Pernah suatu hari saat ikut bapak piket, saya dititipkan pada temannya di kantor polisi karena bapak saya mau berkunjung ke Desa Bunten Bojonegoro. Bapak melarang saya ikut sebab lokasinya berada di dalam hutan dan aksesnya sulit. Hari itu saya menunggu Bapak saya kembali ke kantor polisi lama sekali. Saat beliau datang, sepatu lars panjangnya dipenuhi lumpur dan baju dinasnya yang seharusnya berwarna cokelat berubah menjadi kehitaman. Bapak bilang kalau jalannya berlumpur sehingga susah dillalui.
Kini, setelah lebih dari 20 tahun berlalu, siapa sangka Dusun Bunten yang pernah dikunjungi almarhum bapak saya tersebut belum berubah. Dusun yang memiliki penduduk kurang lebih 267 jiwa ini masih tetap terpencil dan belum memiliki akses jalan yang layak.
Daftar Isi
Dusun Bunten Bojonegoro begitu terpencil, tidak populer, dan nyaris tidak pernah dikunjungi pejabatnya
Sebelum menulis artikel ini, saya sempat bertanya pada teman-teman saya tentang Dusun Bunten. Sebagain besar dari mereka menjawab nggak tahu, padahal teman yang saya tanya tersebut berasal dari Bojonegoro. Lha, kalau orang Bojonegoro saja nggak tahu, apalagi orang dari luar Kabupaten Bojonegoro?
Lokasinya yang berada di kaki gunung dan berjarak kurang lebih 60 kilometer dari pusat Kota Bojonegoro dengan akses jalan yang buruk menjadi salah satu penyebab Dusun Bunten jarang diketahui apalagi didatangi orang di luar Bunten.
Sebenarnya saya masih maklum kalau ada warga Bojonegoro yang belum pernah ke Bunten. Ya kalau nggak ada keperluan kan ngapain juga kelayapan ke sana. Akan tetapi, saya agak syok ketika membaca berita di Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group) yang menyebutkan bahwa hanya ada dua anggota DPRD Bojonegoro yang pernah ke Dusun Bunten. Pantas saja pembangunan di Banten lambat, ha wong wakil rakyatnya saja nggak pernah tahu kondisi lapangan yang sesungguhnya.
Di Bunten sendiri ada sekitar 267 jiwa dengan 97 Kepala Keluarga (KK). Apakah jumlah yang terbilang kecil ini membuat anggota dewan kita yang terhormat malas datang, sebab dianggap nggak cukup siginifikan untuk menaikkan suara saat pemilu daerah? Padahal menurut saya, justru di daerah yang aksesnya susah dan terisolasi seperti Bunten inilah seharunya negara atau wakil rakyat hadir dan memberikan solusi pada warga yang membutuhkan pertolongan.
Akses jalan Ninja Hatori dan hanya ada satu sumber air
Nggak usah jauh-jauh datang ke Papua pegunungan untuk tahu rasanya pergi ke kampung yang akses masuknya seperti perjalanan Ninja Hatori yang jalannya nggak rata melainkan naik turun, berkelok, dan berlumpur. Kabarnya, belakangan di Dusun Bunten Bojonegoro sudah dibangun jalan makadam, tapi belum sampai ke rumah penduduk.
Untuk bisa sampai ke rumah-rumah warga, kita masih harus menempuhnya dengan berjalan kaki di atas jalan berlumpur sekitar 1,5 kilometer. Bahkan motor nggak mampu melewati jalan berlumpur tersebut, kecuali kita datang dengan motor trail.
Mayoritas rumah penduduk di Dusun Bunten masih terbuat dari kayu dan beralas tanah, bukan lantai keramik layaknya rumah-rumah warga di Kota Bojonegoro. Selain itu, di Bunten juga hanya ada satu sumber air, yaitu sumur yang lokasinya sekitar 1,5 kilometer jauhnya dari kampung.
Saya sedih melihat kenyataan ini, mengingat APBD Bojonegoro sangat tinggi, yaitu 7,4 triliun di tahun 2023 dan menjadi kabupaten nomor dua dengan APBD tertinggi di Indonesia. Ya masa dengan jumlah APBD sebesar itu nggak bisa membangun jalan dan fasilitas pendidikan yang memadai di Dusun Bunten, sih? Saya rasa masalahnya bukan karena nggak ada yang bisa, tapi soal political will saja.
Pemerintah kabupaten belum menganggap serius masalah di Dusun Bunten sehingga warga di Bunten masih tetap ketinggalan jauh dari sisi pembangunan infrastruktur dibandingkan darah lain di Bojonegoro. Meksipun jumlah KK hanya 97, tapi mereka tetap warga Bojonegoro yang berhak mendapatkan fasilitas yang sama dengan warga Bojonegoro di kecamatan lainnya, kan?
Kalau Pemkab Bojonegoro nggak bisa memberikan sumber air yang layak dan mudah di akses, apa kita perlu panggil Aqua seperti warga di NTT? Supaya orang Bunten bisa bilang, “Banyune saiki wes cidek je!”
Akses jalan buruk berpengaruh pada kesehatan dan pendidikan warga Dusun Bunten Bojonegoro
Infrastruktur jalan sangat penting dan memiliki pengaruh besar pada kualitas hidup warga. Di Bunten, lantaran jalannya belum terbangun, bahkan ambulans sekalipun akan sulit masuk ke area perkampungan. Jadi, kalau ada warga yang sakit harus ditandu terlebih dahulu. Parahnya lagi, nggak ada fasilitas kesehatan seperti puskesmas ataupun klinik di Dusun Bunten. Mau nggak mau kalau ada orang sakit harus menempuh perjalanan jauh ke luar Bunten.
Akses jalan yang buruk juga membuat banyak warga di Dusun Bunten Bojonegoro nggak lulus SMA. Warga di sini mayoritas masih lulusan SD. Padahal pemerintah membuat program wajib belajar 9 tahun, tapi warga Bunten masih kesulitan mengakses pendidikan sampai jenjang SMA.
Nggak adanya sekolah setingkat SMP dan SMA di Bunten juga menjadi faktor penyebab warga Bunten banyak yang nggak lulus SMA. Jarak SMP terdekat dari Bunten lebih dari 2 kilometer dan akses jalan yang sulit membuat banyak warga putus sekolah.
Berhenti meromantisasi Dusun Bunten
Sebelum menulis artikel ini, saya sempat searching tentang Dusun Bunten Bojonegoro di media sosial dan menemukan beberapa akun yang meromantisasi Bunten. Mereka mengatakan dusun ini unik lantaran daerahnya jauh dan kualitas udaranya bersih karena jarang dilewati kendaraan bermotor.
Ya memang sih udara di Bunten boleh dibilang masih asri dan bebas polusi. Namun, kalau kita terlalu sering meromantisasi hal seperti itu, saya khawatir kita terjebak pada masalah di permukaan. Takutnya kita denial dengan kondisi Dusun Bunten yang memprihatinkan.
Padahal fakta lapangannya, Dusun Bunten memang masih tertinggal. Hal tersebut nggak harus diromantisasi lagi, melainkan butuh diberi perhatian dan solusi. Besar harapan saya agar Pemkab Bojonegoro memberikan perhatian yang serius pada warga Bunten. Yah, minimal bikin fasilitas dasar di sana seperti sumber air bersih, jalan, klinik, dan bus sekolah jika memang dirasa berat membangun sekolah di Dusun Bunten.
Sebab, apa gunanya memiliki APBD besar dari hasil tambang jika masih ada warganya sendiri yang bahkan harus menderita dua kali lipat saat melahirkan lantaran nggak memiliki fasilitas kesehatan dan anak-anaknya nggak bisa melanjutkan belajar karena nggak ada sekolahan?
Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten yang Sering Dilupakan.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.