Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Ironi Batik Pekalongan: Produk Asli yang Dibenci Masyarakat Pekalongan Sendiri

Muhammad Arsyad oleh Muhammad Arsyad
12 Desember 2019
A A
Ironi Batik Pekalongan: Produk Asli yang Dibenci Masyarakat Pekalongan Sendiri

Ironi Batik Pekalongan: Produk Asli yang Dibenci Masyarakat Pekalongan Sendiri

Share on FacebookShare on Twitter

Pekalongan melegitimasi diri sebagai Kota Batik. Julukan itu begitu melekat pada kota ini. Begitu lekatnya sehingga orang akan langsung paham ketika disebut Kota Batik pasti akan menyebut Pekalongan.

Batik memang sudah menjadi branding kota yang tak begitu luas itu. Dengan slogan “World City of Batik” Pekalongan dikenal dunia lewat batiknya. Selain itu banyak sejarah yang mendukung bahwa Pekalongan layak dijuluki Kota Batik.

Sayangnya batik sendiri malah menjadi musuh masyarakat Pekalongan sendiri. Banyak dari mereka justru membenci batik. Apalagi kalau bukan karena limbahnya.

Menjamurnya industri batik di kota ini, membuat derasnya limbah yang terbuang sia-sia ke sungai semakin tak terbendung lagi. Alhasil, sungai-sungai di Kota Pekalongan mulai keruh, kotor, dan berwarna hitam. Terkadang dari sungai-sungai itu tercium bau bekas obat batik yang menyengat. Ikan-ikan sudah tak sudi lagi tinggal di sana.

Itulah barangkali yang mengakibatkan masyarakat Kota Pekalongan sendiri begitu membenci batik. Padahal mereka belum mengenal betul apa yang mereka benci itu. Memang limbah batik bisa mencemari sungai.

Tetapi industri batik yang ada setidaknya sudah membantu sebagian besar masyakarat Kota Pekalongan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, termasuk saya yang saat ini sedang nyambi jualan batik online. Karena itu pula akhirnya muncul slogan lagi “kaline kotor tandane masyakarat makmur rejekine, lan kaline resik, tandane masyarakat seret rejekine.”

Slogan itu menunjukkan betapa ketergantungannya masyarakat Kota Pekalongan pada sektor batik. Kendati batik berdasarkan slogan tadi berarti bisa memperkotor kali. Oleh karena itu, batik juga menjadi musuh masyarakat untuk soal pencemaran sungai.

Padahal kita juga harus mengenali batik secara lebih lengkap. Ironisnya, masyarakat yang belum mengenal lebih jauh soal batik, sering mendakwa batik sebagai penyebab utama tercemarnya sungai. Permasalahan itu sering muncul berbarengan dengan branding Pekalongan Kota Batik yang semakin gencar.

Baca Juga:

Pekalongan (Masih) Darurat Sampah: Ketika Tumpukan Sampah di Pinggir Jalan Menyapa Saya Saat Pulang ke Kampung Halaman

Pindang Tetel: Makanan Khas Pekalongan yang Nggak Masuk Akal tapi Wajib Dijajal

Jika dirunut dari sejarahnya, batik sudah ada sejak zaman penjajahan. Dulu ketika masih bernama Hindia-Belanda, batik sudah ada, tapi belum terlalu familiar. Pekalongan semasa Hindia-Belanda juga menjadi lokasi berlabuh kapal-kapal pembawa kain mori (bahan membatik) dari penjuru dunia. Kapal-kapal itu menyuplai stok kebutuhan kain untuk para pengrajin batik waktu itu.

Saya beberapa kali mengulik soal sejarah batik. Bertanya dan berdiskusi dengan beberapa pegiat sejarah Pekalongan, saya berkesimpulan bahwa batik tak selamanya selalu disalahkan karena limbah sungai. Kapal-kapal tadi menjadi bukti kalau dahulu sungai di Pekalongan masih bisa dilalui.

Bahkan sungai yang kerap dicibir karena kotor dan berisi limbah batik, Sungai Lodji atau para pegiat sejarah sering menyebutnya Sungai Kupang semasa Hindia-Belanda menjadi jalur perdagangan terpadat di Pulau Jawa. Saya lupa tahunnya, tapi yang jelas itu tercatat di beberapa buku sejarah, salah satunya di buku “Pekalongan yang Tak Terlupakan” karya Dirhamsyah, seorang pegiat sejarah Pekalongan. Karena Sungai Kupang itu pula, Pekalongan menjadi daerah termasyhur kala itu, batik menjadi satu diantaranya yang menyumbang.

Pada era Soeharto, batik diajukan ke UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) sebagai warisan budaya tak benda. Pengajuan itu diterima secara resmi oleh UNESCO pada era SBY tepatnya 9 Januari 2009. Lokasi penerimaannya di Pekalongan, dan saat ini tempatnya sudah menjadi Museum Batik, kalau nggak tahu, silakan mampir Pekalongan.

Akhirnya batik resmi dikukuhkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO saat sidang di Abu Dhabi pada 2 Oktober 2009 yang kemudian dikenal dengan Hari Batik Internasional. Saya sempat bertanya pada Dirhamsyah, penulis buku di atas, batik yang diakui UNESCO hanya ada tiga macam. Yaitu batik tulis, batik cap, dan batik kombinasi keduanya.

Kehadiran batik printing atau sablon membuat jenis batik menjadi bias. Ketika saya SD hingga SMA pun, batik printing selalu masuk ke macam-macam batik, dan itu diajarkan pada Mata Pelajaran muatan lokal Batik. Saya merasa dibodohi ketika tahu kalau batik printing bukan termasuk batik.

Bagi kamu yang belum tahu, batik printing adalah batik yang dibuat dengan cara disablon atau bahasa kerennya printing. Sementara batik tulis dibuat dengan menggunakan canting tulis, dan batik cap menggunakan canting cap. Batik cap dan tulis sangat berbeda dari printing.

Pada printing tak membutuhkan malam atau lilin, sementara batik cap dan tulis, serta kombinasi memerlukan lilin plus canting. Sewaktu saya tanya kepada Om Dirham, sapaan akrab Dirhamsyah, batik yang diakui adalah prosesnya.

Proses membatik itu banyak, ada membuat pola, nyanting atau menebali pola dengan canting yang dicelup malam panas, pewarnaan, ngelorot (penghilangan malam), sampai dikeringkan. Semua itu wajib ada, baru bisa disebut batik.

Celakanya sekarang yang terjadi justru industri printing dengan bermotif batik lebih banyak, daripada industri batik yang sesungguhnya. Apalagi masyarakat Pekalongan malahan lebih banyak membeli produk printing bermotif batik, dan mereka bangga sudah memakai batik. Padahal yang mereka pakai adalah printing, namun karena harga printing bermotif batik jauh lebih murah, maka pemakai printing batik lebih banyak ketimbang batik tulis maupun cap.

Efeknya masyarakat akan menganggap itu adalah batik. Sedangkan ratusan orang tak menyadari, limbah printing jauh lebih dominan ketimbang batik tulis atau cap. Terlebih siklus produksi printing lebih cepat dan murah membuat limbah yang dihasilkan semakin berlimpah.

Industri printing dimiliki oleh pengusaha menengah ke bawah, sementara batik asli biasanya milik bos-bos besar. Lantaran industri printing dipunyai pengusaha kelas menengah ke bawah, mereka banyak yang menyepelekan limbahnya. Terkadang langsung dibuang ke sungai, tanpa diolah terlebih dahulu.

Saya sepenuhnya tak menyalahkan mereka. Para pengusaha itu barangkali melakukannya atas dasar kekurangan biaya untuk sekedar membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Maklum ongkos produksi tak setara dengan penjualan.

Kalau pada batik asli, mereka jelas mampu untuk sekedar membuat IPAL, apalagi banyak dari mereka adalah orang-orang berduit. Namun ada pula diantara bos-bos kaya itu yang malas mengelola limbah batiknya dengan baik. Buntutnya batik masih menjadi musuh masyarakat.

Saya sesekali pernah mengecek kadar limbah di sungai Pekalongan lewat Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat. Saya mengaksesnya lewat website resminya langsung. Di data yang saya temukan, batik (tulis dan cap) memang menyumbang limbah, tetapi kadarnya tak sebanyak printing. Wow!

Melihat data itu saya jadi ingat perkataan pegiat sejarah Pekalongan lainnya, kalau tak salah ingat namanya Arief Wick. Ia berkata gini, “Dulu dari mulai zaman ayah saya sudah ada batik, saya masih kecil sudah ada batik, tapi sungainya masih bisa buat mandi, bersih saja tuh.” Maknanya, keliru bila melihat sungai tercemar, terus malah nyalahin batik. Tanpa tahu betul, batik itu yang seperti apa.

Semoga, kalaupun pemuda-pemudi, khususnya Pekalongan makin paham soal batik. Mereka tak hanya nyinyirin batik saat yang lain bangga memakai batik di Hari Batik. Mau branding Kota Batik, eh malah kalah sama buzzer yang mau menjatuhkan batik yang dikaitkan dengan limbah yang salah kaprah. Ramashoookkkk!

BACA JUGA Andai Pekalongan Punya Banyak Tempat Nongkrong Seperti Jogja atau tulisan Muhammad Arsyad lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 12 Agustus 2021 oleh

Tags: batikbatik pekalonganpekalonganpencemaran lingkungan
Muhammad Arsyad

Muhammad Arsyad

Warga Pekalongan. Bisa disapa lewat IG @moeharsyadd

ArtikelTerkait

Sauto dan Lengko, Kuliner yang Jadi Sengketa Antara Tegal dan Daerah Tetangga

Sauto dan Lengko, Kuliner yang Jadi Sengketa Antara Tegal dan Daerah Tetangga

17 Februari 2023
Kalau Mampir Pekalongan, Gasss Cobain Lima Kuliner Khas Ini!

Kalau Mampir Pekalongan, Gasss Cobain Lima Kuliner Khas Ini!

4 Desember 2019
Merepotkan Sekali Mencari Buku di Pekalongan

Merepotkan Sekali Mencari Buku di Pekalongan

15 Januari 2020
Tumpukan Sampah di Jembatan Se'an Simbang Gagal Merepresentasikan Pekalongan Kota Santri

Tumpukan Sampah di Jembatan Se’an Simbang Gagal Merepresentasikan Pekalongan Kota Santri

20 Juni 2025
Andai Pekalongan Punya Banyak Tempat Nongkrong Seperti Jogja tongkrongan

Andai Pekalongan Punya Banyak Tempat Nongkrong Seperti Jogja

21 November 2019
Panduan Membedakan Kota dan Kabupaten Pekalongan biar Nggak Salah Lagi! Terminal Mojok

Alasan Kota Pekalongan Layak Jadi Kota Bisnis

30 Desember 2020
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Desa Sumberagung, Desa Paling Menyedihkan di Banyuwangi (Unsplash)

Desa Sumberagung, Desa Paling Menyedihkan di Banyuwangi: Menolong Ribuan Perantau, tapi Menyengsarakan Warga Sendiri

22 Desember 2025
Panduan Bertahan Hidup Warga Lokal Jogja agar Tetap Waras dari Invasi 7 Juta Wisatawan

Panduan Bertahan Hidup Warga Lokal Jogja agar Tetap Waras dari Invasi 7 Juta Wisatawan

27 Desember 2025
Garut Bukan Cuma Dodol, tapi Juga Tempat Pelarian Hati dan Ruang Terbaik untuk Menyendiri

Garut Itu Luas, Malu Sama Julukan Swiss Van Java kalau Hotel Cuma Numpuk di Cipanas

23 Desember 2025
5 Rekomendasi Kuliner Babi Surabaya untuk Kalian yang Menghabiskan Cuti Natal di Kota Pahlawan

5 Rekomendasi Kuliner Babi Surabaya untuk Kalian yang Menghabiskan Cuti Natal di Kota Pahlawan

22 Desember 2025
Dosen Pembimbing Nggak Minta Draft Skripsi Kertas ke Mahasiswa Layak Masuk Surga kaprodi

Dapat Dosen Pembimbing Seorang Kaprodi Adalah Keberuntungan bagi Mahasiswa Semester Akhir, Pasti Lancar!

25 Desember 2025
Perlintasan Kereta Pasar Minggu-Condet Jadi Jalur Neraka Akibat Pengendara Lawan Arah

Perlintasan Kereta Pasar Minggu-Condet Jadi Jalur Neraka Akibat Pengendara Lawan Arah

24 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Kala Sang Garuda Diburu, Dimasukkan Paralon, Dijual Demi Investasi dan Klenik
  • Pemuja Hujan di Bulan Desember Penuh Omong Kosong, Mereka Musuh Utama Pengguna Beat dan Honda Vario
  • Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal
  • Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha
  • Libur Nataru: Ragam Spot Wisata di Semarang Beri Daya Tarik Event Seni-Budaya
  • Rp9,9 Triliun “Dana Kreatif” UGM: Antara Ambisi Korporasi dan Jaring Pengaman Mahasiswa

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.