Baru-baru ini, melalui kanal YouTubenya, Narasi Newsroom merilis sebuah video berjudul “Tumben, Pendaftar CPNS Turun, Kenapa Milenial dan Gen Z Ogah?” Dalam video tersebut dijelaskan bahwa pada 2019 pendaftar CASN mencapai sekira 4,2 juta dan pada 2021 pendaftarnya sekira empat juta. Padahal pemerintah menargetkan jumlah pendaftar sekira lima juta. Iming-iming adanya kenaikan gaji ASN pada tahun 2022 tidak membuat banyak orang berminat mendaftar CASN.
Menurut video tersebut, beberapa hal yang membuat pelamar CASN turun adalah, tak tersedianya SDM yang sesuai formasi CASN, kebijakan PPKM, dan perbedaan karakter generasi milenial dan gen-Z yang cenderung tidak sesuai dengan pola dan budaya kerja di pemerintahan. Untuk faktor ketiga, di akhir video disisipkan pendapat dua orang dari kalangan milenial, atau Gen Z, saya kurang tahu tepatnya, tentang betapa nyamannya bekerja di kultur swasta, alih-alih pemerintahan. Salah satunya perihal junior yang langsung bisa menumpahkan idenya, yang di pemerintahan sangat jarang terjadi.
Saya punya pendapat lain. Setahu saya, salah satu formasi yang diburu oleh pendaftar CASN adalah formasi guru. Untuk tahun ini formasi guru hanya membuka pendaftaran dengan format PPPK bukan CPNS. Yang secara aturan, PPPK hanya bisa diikuti orang-orang tertentu yang cakupannya lebih kecil.
Yang bisa mendaftar PPPK guru adalah yang sudah terdaftar di DAPODIK (semacam database yang dimiliki oleh dinas pendidikan). Yang berada di bawah naungan Kemenag, yang bisa mendaftar adalah guru honorer K2 yang pernah mendaftar PPPK pada 2019. Selain kedua kategori tersebut adalah lulusan jurusan pendidikan yang sudah punya sertifikat pendidik (sudah lulus Pendidikan Profesi Guru).
Artinya, fresh graduate jurusan pendidikan (yang jumlahnya sangat banyak itu) tidak bisa ikut mendaftar. Selain itu, guru-guru madrasah di bawah naungan Kemenag yang sudah terdaftar di SIMPATIKA (semacam database milik Kemenag) namun tidak berstatus honorer K2 yang pernah mendaftar PPPK pada tahun 2019 juga tidak bisa ikut mendaftar.
Sebagai gambaran saja. Saya bekerja di sebuah madrasah swasta, yang tentu saja berada di bawah naungan Kemenag. Saya dan teman-teman saya sudah terdaftar di SIMPATIKA. Kami sudah mencoba mendaftar CASN, namun tidak ada satu pun yang bisa mendaftar PPPK guru. Setelah mengakses portal pendaftaran CASN, nama tidak bisa keluar. Akhirnya, tidak ada satupun yang mendaftar CASN pada tahun ini.
Pada 2019, ketika ada pendaftaran CPNS dari 16 guru di madrasah kami, 14 yang mendaftar. Dan tahun ini, di antara 16 guru tidak ada satupun yang daftar. Lebih tepatnya, tidak ada satu pun yang bisa daftar dikarenakan faktor yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Hal semacam ini saya kira juga terjadi di madrasah-madrasah lain.
Namun, menurut saya ada hal lain juga. Semenjak wacana pendaftaran CASN untuk guru hanya dengan format PPPK saja, bukan lagi dengan format CPNS digulirkan, respon publik cenderung negatif. Banyak yang beranggapan, hal tersebut tidak menghormati profesi guru. Ada yang mengatakan bahwa format PPPK guru tak ubahnya pegawai kontrak yang tak ada bedanya dengan bekerja di pabrik.
Dan saya kira, untuk semua pendaftar CASN di semua formasi pun akan beranggapan bahwa format CPNS banyak diminati ketimbang PPPK. Sebab, PNS akan mendapat dana pensiun setelah purna tugas, sedangkan PPPK tidak. Kalau urusan gaji, bahkan seorang PNS pendapatannya lebih kecil daripada pedagang plastik di pasar. Artinya, kalau urusan penghasilan bisalah dicari tanpa perlu berstatus PNS. Kalau mendapatkan penghasilan, tetapi tidak ngapa-ngapain seperti para pensiunan itu, tentu saja salah satu jalannya melalui CPNS.
Selain itu, siapa coba yang mau bekerja dengan kultur pemerintah Indonesia yang cenderung lebih terkenal sisi negatifnya daripada sisi positifnya itu, kalau bukan karena satu keistimewaan berupa mendapat uang pensiun ketika sudah purna tugas, sehingga bisa menikmati masa tua dengan ngopi, ngeteh dan ongkang-ongkang di beranda rumah sambil lihat film di Netflix atau baca novel kesayangan?
BACA JUGA ASN yang Rajin Itu Bukan Prestasi, tapi Bunuh Diri dan tulisan Dani Ismantoko lainnya.