Pembangunan infrastruktur di luar Jawa tak dimungkiri diwarnai drama, tapi memangnya di Jawa nggak kayak gitu?
Ada beberapa tipe manusia menyebalkan di muka bumi ini. Salah satu yang paling menyebalkan adalah mereka yang merasa lebih superior, lebih pintar dan lebih wow daripada orang lain sehingga merasa benar sendiri. Sialnya, saya baru saja menemukan manusia jenis ini di Twitter.
Jadi begini ceritanya, ada salah satu akun di Twitter yang memposting meme bergambar PT. KAI dengan tulisan BUMN kebanggaan masyarakat yang Jawa Jawa saja. Tweet tersebut kemudian direpost dan dikomentari ratusan orang, mayoritas pembahasannya terkait tidak meratanya infrastruktur di Indonesia —termasuk juga tidak meratanya ketersediaan layanan kereta api. Saya sih sependapat, faktanya memang infrastruktur di Jawa lebih lengkap dan maju dibandingkan luar Jawa.
Namun, di antara kerumunan orang baik, kok ya ada saja netizen sotoy yang katanya sudah pernah tinggal di luar Jawa selama bertahun-tahun lamanya berkomentar jika lambatnya pembangunan infrastruktur di luar Jawa lantaran penduduk setempat susah diajak kerja sama, suka ribut, terlalu banyak sengketa lahan, dan dikit-dikit minta uang.
Sumpah ya, manusia jenis ini minta dicor bersama tumpukan besi ulir di bawah menara provider. Kok bisa lho, nyalahin warga luar Jawa, padahal tidak meratanya infrastruktur di Indonesia itu tanggung jawab negara bukannya rakyat jelata. Sebagai orang Jawa yang juga pernah bekerja di beberapa daerah di luar Pulau Jawa, izinkan saya meluruskan tiga hal mendasar dari argumen nirempati orang-orang sotoy tersebut.
Ada adat yang harus dihormati!
Pertama, pernyataan yang menyebutkan orang luar Jawa ribet dan suka meminta ini itu ketika ada project pembangunan infrastruktur. Namanya mau membangun project di daerah lain ya memang harus mengikuti aturan yang berlaku di wilayah tersebut. Hal seperti itu bukan ribet, tapi menghormati adat istiadat dan kepercayaan setempat.
Saya ambil contoh misalnya di Bali, pada 2014-an saya pernah bekerja membangun tower provider/ BTS (base transceiver station) di provinsi yang mayoritas warganya adalah Hindu ini.
Di Provinsi Bali, untuk menjaga kesakralan tempat suci dan kenyamanan masyarakat, ketinggian bangunan tidak boleh melebihi tinggi Pura Besakih dan atau pohon kelapa (kurang lebih 15 m diatas permukaan tanah) yang kemudian disahkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali tahun 2009-2029 pasal 95 ayat 2.
Peraturan tersebut jelas bertentangan dengan keinginan perusahaan telekomunikasi yang minimal ketinggian towernya adalah 45 meter. Meskipun proses perijinannya menjadi lebih rumit. Sebelum membangun tower kami juga mengadakan semacam upacara adat di area sekitar BTS (baca: harus mengeluarkan biaya tambahan). Namun, saya rasa hal seperti ini tidak bisa kita artikan orang Bali ribet atau menolak kemajuan zaman, kan? Ini urusan tradisi dan kepercayaan.
Jangan suka menafsirkan sikap defense orang luar Jawa (Sulawesi, Bali, Maluku, Kalimantan, NTT dan pulau-pulau lain di luar Jawa) sebagai bentuk penolakan terhadap pembangunan dan modernisasi. Bisa jadi, sikap tersebut muncul lantaran selama ini mereka sudah terlalu sering dibohongi negara, dikhianati industri pariwisata, disakiti pengusaha sawit, ataupun perusahaan tambang yang kehadirannya tidak banyak menguntungkan rakyat jelata.
Saya rasa, kalaupun ada orang di luar pulau Jawa menaruh curiga terhadap kehadiran kita (orang Jawa) di tanah mereka, itu pun juga hal yang wajar, mereka hanya bersikap lebih hati-hati saja. Lagipula, selama ini perusahaan kontruksi kan seringnya membawa pekerja dari Pulau Jawa meskipun sekadar tukang biasa. Alasannya sih, malas mengajari pekerja baru dan berasumsi jika warga lokal tidak memiliki kemampuan yang diinginkan perusahaan. Ha, kalau seperti ini yang egois dan mau enaknya sendiri siapa? Ente, Boz! Kenapa jadi nyalahin warga lokal?
Sekalipun saya pernah tinggal di Pulau Obi di Halmahera sana selama beberapa bulan, saya tetaplah tidak punya memori kolektif seperti warga setempat yang tanahnya diambil paksa perusahaan tambang nikel hingga mandi saja mereka harus menggunakan air galon lantaran sumber airnya keruh. Lantas, siapa kita ini kok minta kedatangannya langsung disambut karpet merah dan senyuman lebar? Nggak seperti itu cara berpikirnya, Ferguso! Kitalah yang harus memahami mereka bukan sebaliknya.
Memangnya di Jawa pembangunan infrastruktur nggak rumit?
Kedua, argumen tentang orang luar Jawa suka minta duit yang akhirnya menghambat pembangunan infrastruktur. Jujur saja, saya tidak menyangkal jika ada oknum yang meminta uang selama saya bekerja membangun BTS di luar Pulau Jawa. Tapi, hal semacam itu tidak hanya terjadi di luar Jawa. Di Surabaya, Jogja, ataupun Jakarta juga banyak orang minta uang ketika ada pembangunan BTS atau project sekecil apa pun. Urusan uang mah di mana-mana sama saja.
Saya tidak bermaksud menormalisasi pemalakan lho ya. Tapi, saya hanya tidak setuju ketika sikap seperti itu dituduhkan kepada satu daerah tertentu saja. Misalnya, hanya karena kita pernah bertemu orang Ambon menjadi preman di Jawa, bukan berarti semua orang Maluku adalah preman, kan?
Ketiga, terkait seringnya ada sengketa lahan yang berlarut-larut di luar Pulau Jawa. Percayalah, konflik tanah dalam setiap proses pembangunan infrastruktur (transportasi ataupun telekomunikasi) tidak hanya terjadi di luar Pulau Jawa, tapi di seluruh Indonesia. Di Surabaya misalnya, untuk membangun frontage road Jalan Ahmad Yani dibutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya sampai ada kesepakatan harga. Bahkan pernah ada bentrok juga antara warga dan pemerintah kan? Dan proses pembuangannya juga tetap berjalan.
Sebagian besar kasus sengketa lahan antara warga vs negara hampir selalu dimenangkan oleh negara lho. Jadi, jangan menormalisasi argumen daerah di luar Jawa terbelakang karena mereka susah diajak maju dan banyak konflik lahan. Kalau memang pemerintah serius ya tetap saja semua pembangun infrastruktur akan dilakukan seperti yang umum terjadi di Pulau Jawa. Percayalah, jika pemerintah sudah mau, warga nangis darah pun tetap saja diambil itu lahan.
Andai saja memang benar misalnya ada warga di luar Jawa tidak mau diajak berpikir maju, itu pun tetap bukan salah mereka. Lha bagaimana mau berpikir maju kalau fasilitas dan tenaga pendidiknya saja tidak merata, semua yang berkualitas minta ditempatkan di Jawa. Sudahlah, hanya karena kita hidup di Pulau Jawa yang lebih unggul secara infrastruktur bukan berarti kita lebih pintar dan lebih beradap dari saudara kita di pulau lain.
Saya kira, satu-satunya pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban terhadap tidak meratanya infrastruktur di Indonesia adalah negara, bukannya malah orang di luar Jawa atau rakyat jelata lainnya. Sekian!
Penulis: Tiara Uci
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Siapa Bilang Membangun Infrastruktur Tak Bisa Tanpa Utang?