Bapak saya yang seorang kontraktor kecil-kecilan sering kali diamanahkan untuk membangun sebuah gedung atau bangunan, baik swasta maupun pemerintah. Kadang gedung sekolah, gedung kantor dinas atau sejenisnya. Itu mengapa dia punya banyak kenalan kuli bangunan.
Nah, dalam proses pembangunan dia perlu menghitung segala sesuatu dengan cermat supaya bangunan bisa berdiri kokoh sesuai dengan budget. Persoalannya, ada beberapa kuli bangunan red flag yang membuat semuanya tidak berjalan sesuai rencana. Ada yang bikin alokasi dana membengkak hingga hasil akhir bangunan jauh dari harapan. Nah, apa aja perilaku red flag itu ? Saya jelaskan satu per satu ya.
Daftar Isi
#1 Mark up harga material oleh mandor
Awal-awal menjadi kontraktor, khususnya untuk pekerjaan bangunan, bapak saya sering kecolongan dengan ulah mandor yang sering melakukan mark up harga material secara semena-mena. Awalnya di mark up dengan nominal yang sedikit. Misalnya, harga semen Rp70 ribu per sak, nanti bilangnya Rp75 ribu. Sementara pembeliannya bisa mencapai 10 sak semen. Nah, tinggal dikalikan saja Rp5.000 dikali 10 sak alias Rp50 ribu masuk ke kantong pribadi. Ini baru satu item ya.
Semenjak tahu kelicikan itu, seluruh pembelian materialnya pun akhirnya dilakukan oleh bapak saya dan di toko-toko kenalan. Jadi, meskipun bapak saya nggak bisa beli langsung, dia bisa meminta mandor kuli bangunan untuk membeli material di toko X. Nah, Bapak saya sudah tahu harga-harganya sehingga nggak mungkin bisa dibohongi.
Terus terang saja, praktik seperti ini biasanya sering dilakukan oleh para kuli di proyek-proyek bangunan kecil, seperti membangun rumah warga yang modalnya terbatas. Biasanya pemilik rumah menyerahkan urusan belanja material ke mandor atau tukang senior. Nah ini harus hati-hati. Pemilik rumah setidaknya harus tahu harga umum sebuah material biar gak diakalin. Misalnya, beli batu bata yang per biji Rp800 bisa diklaim Rp1.000. Selisih harga ini masuk ke kantong mandor, dan karena yang belanja dia sendiri, struk pun jarang diminta.
Apesnya, praktik seperti ini sering dinormalisasi di proyek seperti bangunan rumah karena pemilik rumah nggak mau ribet dan ingin terima beres. Padahal kalau dikalkulasi secara cermat, selisih Rp1.000 aja itu penting loh karena bisa bikin overbudget belasan persen dari total biaya proyek. Itu belum ditambahkan dengan ulah nakal kuli yang membiarkan proses pembangunan berjalan lama, bisa jebol anggarannya.
#2 Mengoplos kualitas material
Setelah sudah tahu harga umum dari tiap material, masih ada celah kecurangan bagi oknum kuli untuk mendapatkan keuntungan. Contoh, ketika pemilik sudah pesan beli semen merk A dengan harga sekian. Bisa jadi nanti yang dibeli adalah semen merk C dengan kualitas di bawah merk A. Sehingga harganya jauh lebih murah. Nah sisa uangnya bisa jadi dikantongin tuh. Atau pemilik dalam proyeknya ini pesan pasir hitam halus, tapi yang dibelikan pasir bercampur tanah dan kerikil. Makanya selain paham harga, pemilik setidaknya paham betul soal material yang dibeli biar gak dibohongi oleh kulinya.
Selain itu, praktik oplos-mengoplos material ini biasanya juga muncul di proyek yang berbiaya kecil. Hal itu membuat kualitas material yang dibutuhkan sering jadi aspek yang diabaikan saat budgetnya mepet.
Material macam batu bata, kayu kaso, hingga besi beton pun bisa dimanipulasi. Caranya, para kuli tersebut memakai barang berkualitas baik di bagian yang terlihat, sementara di area tersembunyi pakai material oplosan. Lagi pula, siapa juga yang akan bongkar fondasi atau plafon kalau rumah sudah dicat rapi
#3 Pekerjaan kuli ala kadarnya di area tersembunyi
Ada sebuah anekdot singkat yang bilang gini “asal nggak kelihatan, ya sudah nggak apa-apa, aman.” Nah hal itu sering dijadikan pegangan bagi kuli nakal terhadap bangunan yang diserahkan kepadanya. Jadi, ada bagian-bagian tersembunyi atau bukan bagian utama bangunan yang dibuat alakadarnya atau bahkan asal-asalan. Misal, rangka plafon yang harusnya pakai kaso 5/7 malah diganti 4/6. Penyambungan besi beton di pondasi yang mestinya disambung dengan standar, cukup ditumpuk dan diikat seadanya.
Karena letaknya yang tersembunyi, pemilik bangunan jarang ngecek dan menyadarinya. Umumnya mereka lebih memberi perhatian ke keramik yang tertata rapi, cat yang halus dan bersih, serta tembok-tembok bangunan yang tampak kokoh. Padahal kalau bagian tersembunyi ini dikerjakan asal-asalan, risikonya bisa fatal.
Misalnya kondisi saluran air tanam pakai pipa yang tipis atau sambungannya asal dipress. Kemudian pondasi kurang dalam karena kuli malas menggali, dak beton dicor tipis demi ngirit semen, akibatnya bukan cuma kerusakan bangunan, tapi juga mengancam keselamatan pemilik bagunan loh.
#4 Upah borongan kuli yang ambigu
Salah satu kelicikan klasik dari para kuli red flag yang sering diabaikan pemilik bangunan adalah upah borongan tanpa hitungan yang detail dan jelas. Misalnya, kuli minta Rp5 juta untuk pembangunan rumah A. Kelihatannya enak nih karena gelondongan dan jelas di awal. Tapi saat proyek mulai berjalan, akan muncul permintaan tambahan. Misalnya, “Pak, yang ngedak ternyata harus dibantu anak buah tambahan, nambah Rp300 ribu ya.” Atau “Ini ngedempul ternyata banyak retakannya Pak. Jadi harus ekstra kerjanya, tambah sekian ya.”
Karena sejak awal nggak ada perjanjian yang jelas mengenai rincian kerja dan harga satuan, pemilik bangunan jadi sulit nolak. Pada akhirnya, total biaya akan melebar dari kalkulasi awal, bahkan lebih mahal dibanding seandainya dihitung harian.
Jadi, sebisa mungkin kalau mempekerjakan tukang borongan, harus jelas seperti apa skemanya, dana Borongan di awal itu untuk membayar apa? Kemudian adakah tambahan lainnya? Supaya nggak tekor ketika akhir pekerjaan.
Perlu selalu waspada, jangan mudah percaya kuli bangunan
Itu beberapa perilaku red flag dari para kuli yang harus diwaspadai. Khususnya untuk kalian yang ingin membangun rumah secara mandiri. Ada baiknya menggunakan kuli yang sudah benar-benar kenal, biar nggak dikadalin.
Kalaupun harus menggunakan kuli yang baru dikenal, ada baiknya jangan terlalu baik hati sama mereka. Di dunia yang semuanya pengen cari duit, hati yang tulus itu kalah sama dompet yang tebal. Mereka nggak peduli kamu sebaik apapun dalam bertutur kata, kalau ada celah, akan tetap dikadalin. Jangan percaya 100% sama kalimat manis mereka seperti, “Tenang Pak, saya kerjain kayak rumah saya sendiri.” Halah, prettt.
Pokoknya, lebih baik cerewet di awal daripada nangis sesenggukan di akhir. Jangan sampai bangunan baru jadi, dompet udah tinggal kenangan, dan tiap liat plafon rumah langsung kepikiran, “Ini rangka atap dan plafonnya aman nggak ya?” Saya ingatkan, di dunia ini, ada dua jenis orang yang gak boleh dipercaya penuh yaitu, mantan yang bilang masih sayang, dan kuli bangunan yang bilang, “Nggak usah dicek, udah saya beresin kok Pak.” Hilihhhhh.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 4 Menu Solaria yang Gagal, Sebaiknya Dihindari Pembeli daripada Menyesal
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.