Iklan Rumah di Surabaya Emang Nggak Bikin Orang Pengin Beli

Iklan Rumah di Surabaya Emang Nggak Bikin Orang Pengin Beli

Iklan Rumah di Surabaya Emang Nggak Bikin Orang Pengin Beli (Shutterstock.com)

Jika kebutuhan hidup layak artinya adalah terpenuhinya sandang, papan, dan pangan, Surabaya jelas jauh dari itu.

Salah satu fungsi iklan, apa pun jenisnya, pasti punya tujuan agar suatu informasi jadi tercapai. Biasanya, tentang produk. Dan produk, selalu berkaitan dengan profit. Mudahnya, iklan adalah cara agar suatu barang bisa lebih mudah terjual.

Misalnya nih, iklan klinik kecantikan, umumnya akan menampilkan jenis jasa dan produk mereka. Lengkap dengan manfaat yang akan diperoleh saat melakukan treatment tersebut. Tak ketinggalan, ada bintang iklan yang glowing, untuk memberi pesan: jasa dan produk mereka bisa bikin kalian kayak mbak/mas ini. Lalu, ditambah lagi dengan informasi lain yang bikin kita tertarik.

Iklan, lumrahnya seperti itu. Tapi, tidak untuk iklan rumah di Surabaya.

Iklan rumah di Surabaya dikemas dengan tampilan yang eyecatching. Ada foto rumah yang asri, desain minimalis, dan harga yang fantastis. Sebenarnya, normal-normal saja. Tapi, ada yang unik.

Saya kasih contohnya. Ada iklan rumah di daerah Ketintang, di dekat kampus Universitas Negeri Surabaya. Tulisan iklannya seperti ini: “Perumahan Pondok Indah, dekat dengan pusat Kota Surabaya, harga mulai Rp1 M-an saja”.

Harga. Mulai. Rp1 M-an. Saja.

Bayangkan, angka 1 M diberi akhiran kata “saja”. Seakan-akan, angka satu miliar rupiah itu bukan jumlah yang besar, dan bisa ditebus oleh siapa saja di Surabaya.

Padahal, jelas saja itu tidak masuk akal. UMR Kota Surabaya hanya Rp4.3 jutaan. Jika gaji mayoritas orang di Surabaya adalah UMR, harga rumah tersebut tak masuk akal.

Bahkan jika kita nekat membeli rumah tersebut dengan cara KPR, tak diusir oleh pegawai bank saja sudah bersyukur. FYI aja nih, saya sudah bertanya ke SPG rumah Rp1 M-an itu, dan mbaknya bilang, cicilan terendah agar bisa memiliki rumah tersebut adalah delapan juta setiap bulannya selama 20 tahun. Kita bahkan belum berbicara tentang uang mukanya.

Tak makan sebulan pun, cicilan sebulan tetap tak tercapai.

Sebagai orang yang sudah sepuluh tahun tinggal di Kota Surabaya, tapi masih belum sanggup membeli rumah di Kota Pahlawan, saya yakin iklan rumah di kota ini bukan untuk dibeli. Tapi, untuk hal-hal di bawah ini,

#1 Memberi tahu kita kalau kerja keras saja nggak cukup

Beberapa waktu lalu ada Menteri yang berkata jika gaji buruh di Indonesia kebanyakan. Tentu saja itu ngawur. Gaji pegawai di Indonesia (pegawai kantoran pun buruh, jangan salah) tak bisa dibilang tinggi. Bahkan gaji yang ada, seringnya hanya cukup untuk bertahan hidup saja. Belum tentu bisa memenuhi kebutuhan hidup.

Sederhananya begini. Jika kebutuhan hidup layak artinya adalah terpenuhinya sandang, papan, dan pangan, Surabaya jelas jauh dari itu. Sebab, harga rumah setinggi itu.

Rumah di Surabaya (Shutterstock.com)

Meskipun buruh bekerja delapan jam sehari, ditambah lembur beberapa jam setelahnya, mentok sebulan dapat lima sampai enam juta. Angka yang masih jauh dari cukup untuk membeli rumah di Kota Pahlawan yang cicilan perbulannya saja Rp8 jutaan. Jadi, iklan rumah di sepanjang jalan Surabaya semacam pengingat bagi buruh dan kelas pekerja lainnya. Sekalipun kita lembur setiap hari, selama satu bulan penuh, uang yang kita kumpulkan nggak cukup untuk KPR rumah.

Upah yang jauh dari standar layak, plus harga properti yang gila-gilaan, menunjukkan bahwa ada yang salah dalam mengelola negara ini. Surabaya hanyalah salah satu contoh.

Padahal, sebenarnya, UMR kota ini tuh tinggi dibanding yang lain. Kalau yang tinggi saja masih kesusahan beli rumah, apalagi yang di bawahnya?

#2 Membuat buruh terus bermimpi

Apa yang membuat kita berusaha giat dalam hidup? Mimpi. Apa yang bikin kita bekerja makin keras? Karena bermimpi untuk beli rumah.

Rumah mewah (Shutterstock.com)

Sekalipun, itu nggak masuk akal.

#3 Hiasan

Jika kalian berkunjung ke Surabaya, di sepanjang jalan raya akan kalian dapati pepohonan rindang. Kalau beruntung, kalian bisa melihat bunga tabebuya bermekaran dengan indah, mirip jalan-jalan di Jepang yang bertaburan sakura.

Bunga Tabebuya (Shutterstock.com)

Pepohonan di pinggir jalan memang bagus. Namun kalau hanya berisi pohon saja, Surabaya kesannya lebih mirip hutan daripada kota metropolitan. Makanya kita butuh iklan besar dengan lampu warna-warni untuk menunjukkan sisi modernitasnya.

Di sinilah iklan rumah berperan penting. Hunian yang mewah adalah salah satu ciri kota tersebut dikatakan sebagai kota besar. Semakin mahal harga rumah, semakin metropolitan kota tersebut. Nggak percaya? Liat saja harga rumah di kota besar.

Ya saya tahu, kota besar pasti akan punya masalah hunian. Ruang yang terbatas dan diminati banyak orang, pasti akan bikin harga melambung. Tetapi, hal tersebut bisa diantisipasi dengan perencanaan yang matang. Mungkin, mungkin lho, pada nggak ngeh kalau hunian bisa dibikin vertikal.

Jadi, jika kalian melihat iklan rumah di Surabaya lalu pengin menangis, tenang, kalian nggak sendirian, kok. Perkara harga rumah, kita semua sama-sama merana.

Penulis: Tiara Uci

Editor: Rizky Prasetya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version