Sayangnya berdasarkan pengamatan saya selama ini, malah nggak terlalu banyak pengendara yang memberikan uang “terima kasih” untuk pak ogah. Padahal kerjaan pak ogah berdiri di tengah jalan, lho. Mereka rela panas-panasan di siang hari dan membantu pengendara menyebrang jalan atau putar balik dengan taruhan nyawa. Apa iya sekadar dua ribu rupiah aja kita nggak mau ngasih? Yah, terlepas dari latar belakang apakah pak ogah ini orang mampu atau kurang mampu.
Kerja ikhlas
Lagi pula kalau dilihat lagi, kebanyakan pak ogah ikhlas membantu pengendara di jalanan. Kalau dikasih uang, ya mereka akan mengulurkan tangan untuk menyambutnya. Tapi kalau nggak dikasih, ya nggak masalah, mereka tetap membantu kita menyebrang jalan atau putar balik. Sejauh ini saya nggak pernah melihat ada pak ogah yang misuh-misuh ke pengendara lantaran nggak dapat apa-apa.
Salah seorang pak ogah yang pernah saya ajak ngobrol bahkan mengatakan, “Saya ndak tega kalau lihat ada yang kecelakaan. Di jalan sini ndak pernah sepi dan orang-orangnya ngebut, Mbak. Ndak masalah saya ndak dibayar, yang penting pada selamet.”
Saya jadi membayangkan. Seandainya di jalanan nggak ada pak ogah sama sekali, bukan tak mungkin berkendara di jalanan Jogja jadi terasa seperti neraka. Sudah semrawut, panas, ada yang kebut-kebutan, ada yang mengklakson tan tin tan tin, dll. Terus yang mau nyebrang jalan atau putar balik kudu gimana? Mosok kudu terbang? Nggak sedikit lho kasus kecelakaan yang menimpa orang yang sedang nyebrang.
Intinya, nggak ada salahnya memberikan sebagian dari uang kita untuk pak ogah. Seribu atau dua ribu yang dilihat bukan nilai uangnya, melainkan keselamatan yang telah dipertaruhkan mereka. Kalau saya sih mendingan ngasih uang dua ribu ke pak ogah daripada ke tukang parkir yang cuma datang tak dijemput dan pergi begitu aja.
Penulis: Shila Nurita
Editor: Intan Ekapratiwi