Seperti halnya yang terjadi beberapa waktu lalu ketika viral thread horor KKN Di Desa Penari menuai pro dan kontra, kali ini kembali sesuatu hal yang sama. Namun bukan soal horror walau esensinya mirip-mirip sama. Adalah film Joker yang sedang tayang di bioskop. Bukan hanya hype di media sosial, layaknya KKN Di Desa Penari, hype tentang film Joker juga terjadi di dunia nyata. Banyak yang membagi kisah keseruan mereka setelah menonton film ini. Namun tidak sedikit juga yang bahkan berdiri dari kursi bioskop saja sampai tidak berdaya lantaran adegan dan plot cerita yang ditampilkan. Bahkan beredar banyak seruan agar ibu-ibu yang sudah memiliki anak kecil tidak membawa serta anak mereka untuk menonton film yang lebih cocok untuk kalangan psikopat ini. atau jikapun tidak untuk itu, bisa jadi obyek kajian untuk mereka yang fokus di bidang psikologi klinis.
Beredar banyak meme yang kira-kira berbunyi “Orang jahat adalah orang baik yang diperlakukan secara tidak baik”. Bagi saya, meme ini bahkan sudah ada sebelum film Joker ini muncul. Sebuah anekdot yang berkembang luas terutama dalam pikiran orang-orang mengenai dunia pacar-pacaran dan percintaan.
Nah, satu hal yang bisa dipetik (katanya) setelah menonton film Joker adalah untuk menghindari terbentuknya karakter Joker dalam dunia real nyata. Dengan tidak meremehkan orang lain dalam hal apapun saja. Kita tidak pernah tahu bagaimana seseorang menghadapi kehidupannya. Maka layakkah kita dengan ketidaktahuan kita mengenai hidup seseorang lantas mencapnya sebagai ini dan itu? Itu adalah hal yang dialami Joker (katanya lagi, karena saya memang belum menonton filmnya).
Kenapa saya berteori atau paling tidak mengambil teori orang-orang yang telah menonton film Joker untuk tulisan ini? Padahal dalam konteks tahu, saya hanya tahu Joker sampai pada adegan-adegan dalam trailernya.
Dalam perspektif Kita sebagai penonton film, kita mengerti beberapa hal. salah satu yang terkenal dan (katanya) dimasukkan kedalam plot film joker adalah symptomatic meaning. Makna yang terjadi karena kesimpulan penonton terhadap apa yang dilihat dan didengar di layar bioskop. Symptomatic meaning ini secara lebih luas adalah ideologi yang dibawa penonton setelah menonton sebuah film. Ya Joker dalam filmnya memasukkan unsur ini.
Namun apakah benar-benar unsur symptomatic meaning dimasukkan dalam film Joker untuk sebuah tujuan layaknya yang yang biasa kita dengar dengan sebutan pesan moral seperti yang sudah dijelaskan diatas? Saya mungkin bisa dicap “berasumsi”, tapi menurut saya tidak sepenuhnya begitu. Dalam dunia yang dikuasai paham liberal seperti sekarang ini, uang adalah segalanya. Bahwa bagi saya, sang sutradara dan jajarannya mengerti dan sangat paham dengan apa yang kelak akan didapat oleh penonton ketika menonton film Joker. Hasil dari kerja para penonton ini, harapan mereka, sebagai pemicu kabar-kabar besar, atau banyak orang bilang gimmick. Bahwasanya keinginannya jelas, orang-orang terutama seperti saya (yang belum nonton) penasaran apa sebenarnya yang terjadi sehingga jalan cerita Joker ini menjadi hype.
Permasalahannya adalah, mereka yang menghembuskan isu psikologi dalam film Joker ini adalah orang-orang yang bisa dikategorikan terkenal. Maka followernya orang-orang terkenal ini otomatis akan terpapar konten Joker ini entah mereka belum atau sudah menonton. Bagi yang sudah menonton dan merasa setuju dengan apa yang diomongkan si “orang terkenal” ini tadi, ia akan melanjutkan kabar itu ke temannya yang lain. Sedangkan bagi yang belum, mereka akan penasaran, “Emang sesadis apa sih adegannya?” Ya, mirip-mirip rasa penasaran saya dan banyak orang setelah mendengar kisah dari KKN Di Desa Penari. Bukankah sesuatu yang memiliki nilai jual tinggi itu justru adalah RASA PENASARAN?
Pada akhirya, saya justr tidak akan melarang bagi siapa saja yang ingin menonton film Joker. Sama juga, tidak akan menganjurkan kepada sesiapa saja untuk menontonnya. Saya anggap, kepada kalian yang ingin menonton, semua tanggung jawab ada dalam diri kalian masing-masing. Bagi yang merasa kuat akan adegan sadis dan penuh dampak psikologis ya monggo-monggo saja. Sdangkan kepada yang merasa tidak akan kuat menanggung beban dari symptomatic meaning film Joker, ya gak usah nonton. Simple to? Atau jika memang masih penasaran dengan adegan-adegan sadistic atau yang membuat simpati tapi merasa tidak kuat, monggo kasih ke saya saja tiketnya. Nanti keluar dari bioskop saya ceritakan ulang kejadiannya. Sedetail-detailnya yang bisa saya ceritakan. haha (*)
BACA JUGA Ortu Bebal Rating yang Masih Ngeyel Nonton Joker Bareng Anak Kecil atau tulisan Taufik lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.