Kabarnya, hukuman untuk Arema FC atas Tragedi Kanjuruhan sudah selesai. Kabar tersebut berasal dari pernyataan Ferry Paulus, Direktur PT LIB. Hasilnya, mereka bisa segera kembali berkandang di Malang setelah renovasi Stadion Gajayana selesai.
Untuk menyegarkan kembali ingatan kita, saya akan menyebutkan tiga hukuman Komdis (Komisi Disiplin) PSSI kepada Arema FC atas Tragedi Kanjuruhan. Pertama, dilarang bermarkas di area Malang. Kedua, larangan penonton hadir ke stadion. Ketiga, denda sebesar Rp250 juta.
Daftar Isi
Semua klub ikut merasakan “hukuman” Arema FC
Mungkin di antara kalian ada yang kaget kok tiba-tiba hukuman Arema FC sudah selesai. Sementara itu, Tragedi Kanjuruhan belum terusut sampai benar-benar tuntas. Sangat wajar kalau kalian merasa kaget. Mengingat semua klub merasakan “hukuman” Singo Edan.
Nggak percaya? Pertama, dilarang berlaga di home base. Selepas Tragedi Kanjuruhan, semua klub bermain dengan sistem bubble. Semua pertandingan berpusat di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Berarti, semua tim Liga 1 sempat merasakan nggak bertanding di kandangnya sendiri.
Hukuman kedua yaitu larangan penonton hadir ke stadion. Nggak cuma merasakan sistem bubble, seluruh sisa pertandingan Liga 1 putaran pertama juga digelar tanpa penonton.
Tidak ada pengurangan poin
Meskipun Liga 1 2022/2023 tetap dilanjut selepas Tragedi Kanjuruhan, apesnya, Liga 2 2022/2023 dihentikan. Salah satu alasan adalah tim Transformasi Sepak Bola Indonesia usai Tragedi Kanjuruhan menyampaikan bahwa sarana dan prasarana klub Liga 2 belum memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu tak ada degradasi untuk musim lalu.
Meskipun kompetisi sudah tanpa degradasi, Arema FC tetap nggak mendapatkan pengurangan poin. Hal ini sempat menimbulkan pertanyaan besar dari publik sepak bola Indonesia. Kenapa hukuman mereka ringan banget, ya? Emang nggak bisa lebih berat lagi? Atau, jangan-jangan memang diatur supaya nggak terlalu berat, ya? Semoga dugaan segelintir netizen yang pernah berseliweran di internet tersebut tidak benar.
Cuma mendapat sanksi sosial
Satu-satunya yang terasa sebagai hukuman bagi Arema FC adalah penolakan penggunaan stadion. Nggak cuma sekali atau dua kali saja ditolak. Mereka malah sudah ditolak sampai empat kali perihal penggunaan stadion. Mulai dari Stadion Moch Soebroto Magelang, stadion di Bali, Stadion Sultan Agung Bantul, sampai Stadion Jatidiri Semarang sempat menolak.
Penolakan itu sesungguhnya bukan sebenar-benarnya hukuman. Lebih condong ke sanksi sosial. Ibaratnya suporter itu seperti akamsi yang menolak kedatangan orang luar (Arema FC) di kampungnya (stadion). Sebab, orang luar tersebut memiliki rekam jejak kelam yang belum dipertanggungjawabkan.
Baca halaman selanjutnya
Ada yang lebih merasa terhukum dibandingkan Arema FC
Bagi saya, Arema FC bukan klub yang mendapatkan hukuman paling berat atas Tragedi Kanjuruhan. Walaupun tim berjuluk Singo Edan tersebut merupakan salah satu pihak yang paling bertanggungjawab atas tragedi itu. Akan tetapi, yang paling merasa “dihukum” berat tentu klub Liga 2 dan Liga 3.
Kok bisa gitu? Iya, pasalnya kompetisi di bawah Liga 1 berhenti semua. Padahal, seluruh tim Liga 2 dan Liga 3 sudah siap mengarungi dan menyelesaikan musim 2022/2023. Mesti dana yang telah dikeluarkan mereka untuk mempersiapkan dan menjalani musim nggak sedikit. Sialnya, meski uangnya sudah menguap ke mana-mana, hasilnya sama sekali nggak ada.
Nggak ada apa-apanya dibandingkan hukuman Liverpool
Tragedi Kanjuruhan selalu mengingatkan saya pada Tragedi Heysel yang sama-sama memilukan. Bedanya jumlah korban Tragedi Kanjuruhan (135 orang) lebih banyak ketimbang korban Tragedi Heysel (39 orang). Selain itu, bedanya ya cuma Arema FC mendapatkan hukuman yang lebih ringan daripada Liverpool.
Atas Tragedi Heysel, Liverpool dihukum larangan bermain di kompetisi eropa selama enam tahun. Bayangkan jika hukuman serupa dijatuhkan pada klub top eropa hari ini. Pasti pundi-pundi penghasilan klub akan berkurang drastis. Skenario terburuknya adalah klub top tersebut bisa bangkrut.
Silakan bandingkan sendiri dengan hukuman yang dijatuhkan kepada mereka atas Tragedi Kanjuruhan. Jomplang banget toh?
Banyak yang bilang Arema FC itu klub nirempati. Membiarkan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan menuntut keadilan sendiri. Tetap melanjutkan kompetisi meski tangan mereka penuh dengan cucuran darah korban. Satu pertanyaan saya, di mana hati nurani?
Mungkin satu-satunya peran Arema FC terhadap korban adalah mencantumkan jumlah korban di jersey mereka musim ini. Itu pun sempat keliru. Pihak Arema FC mengakui penulisan jumlah korban Tragedi Kanjuruhan di jersey yang ditampilkan saat launching itu salah. Kocak.
Kejadian tersebut mungkin bisa menggambarkan bagaimana komitmen Arema FC dalam mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan. Yang terasa sangat tidak serius. Betul apa betul pecinta sepak bola Indonesia?
Selama Tragedi Kanjuruhan belum diusut tuntas. Selama itu juga sepak bola kita nggak bakal ke mana-mana. Hanya jalan di tempat saja. Keinginan saya sangat sederhana, usut tuntas Tragedi Kanjuruhan. Baru setelah itu, kita bicara masalah lain terkait sepak bola dalam negeri.
Penulis: Ahmad Arief Widodo
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.