Perasaan penuh kebanggaan serasa memenuhi dada saya manakala saat pertama kali mengikuti kelas mata kuliah pengantar ilmu hukum, seorang dosen mengatakan “kalian harus bangga menjadi mahasiswa hukum karena keadilan di masa depan, ada di tangan kalian”. Sebuah perkataan yang cukup membuat seisi kelas merinding, membayangkan akan seberapa pengaruhnya kami di masa depan kelak.
Berbagai sesi kelas dan diskusi selalu mengajarkan bahwa tujuan dari hukum itu untuk terwujudnya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Bukan untuk melanggengkan kekuasaan yang otoriter, main hakim sendiri, atau bahkan menghasut timbulnya berbagai perpecahan. Hukum jika dimaknai secara luas, dapat dikatakan mengatur segala lini kehidupan. Hukum bukan hanya peraturan perundang-undangan tertulis saja, melainkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Saya rasa, beberapa hal yang telah saya sebutkan di atas barangkali pernah didengar oleh para mahasiswa hukum, khususnya saat masih awal perkuliahan. Bahkan, persepsi masyarakat luas terhadap “orang hukum” kebanyakan dipandang sebagai seseorang yang sangat paham akan tata kelola kehidupan, tertib, berwawasan luas, sulit ditandingi, hingga memiliki kebijaksanaan dan keadilan.
Berbagai literatur hukum memuat banyak sekali adagium (pepatah) yang penuh akan nilai kehidupan, sebut saja “fiat justitia ruat caelum (keadilan harus ditegakkan, meskipun langit runtuh)”, “vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan)”, hingga “salus populi suprema lex (kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi dalam suatu negara)”.
Pengalaman belajar di kelas, diskusi, hingga seminar. Tentu rasanya belum lengkap belajar ilmu hukum apabila nggak melihat realitas sesungguhnya di lapangan. Oleh karena itu, diadakannya praktik pemagangan, pengabdian ke masyarakat dalam berbagai kegiatan organisasi, hingga aksi dan demonstrasi. Dalam pandangan saya, semua hal itu dilakukan agar mendapatkan pandangan utuh mengenai implementasi hukum itu sendiri. Akan tetapi, harus saya akui, kebanyakan melihat realitas, hanya membuat saya kecewa dan tersakiti melihat praktik yang membumi saat ini.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang aneh
Saya memiliki alasan mengapa praktik pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini (khususnya beberapa tahun belakangan) terbilang aneh. Dalam konteks teoritis dan normatif, pembentukan peraturan perundang-undangan merujuk pada ketentuan UU No. 12 Tahun 2012, yang secara singkat dijelaskan mengenai asas-asas atau pedoman dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut secara singkat pernah saya singgung dalam artikel Pedoman Sederhana untuk Menilai Suatu Produk Hukum Baik atau Buruk.
Keanehan yang saya maksud di sini ialah manakala para pembentuk undang-undang (bisa legislatif dan/atau eksekutif) dalam membentuk suatu undang-undang yang jauh dari pemenuhan prinsip keterbukaan. Lihat saja beberapa produk mereka yang terbaru, mulai dari UU KPK, UU Minerba, UU MK, hingga UU Cipta Kerja. Berbagai aspirasi tentang suatu undang-undang nggak sesuai keinginan rakyat digaungkan mulai dari para akademisi, aktivis, mahasiswa, hingga elemen masyarakat, dengan mudah ditepis dengan lontaran pertanyaan memuakkan “yang kalian maksud rakyat yang mana?, kami sudah mengakomodir suara rakyat kok!”
Peradilan sesat
Istilah peradilan sesat sering terdengar sekitar beberapa dekade ke belakang, meski sekarang istilah tersebut kurang populer. Setidaknya makna peradilan sesat sebagai suatu kegiatan memeriksa dan mengadili yang dilakukan dengan salah jalan, salah prosedur, salah menerapkan aturan, hingga salah mendasarkan pada suatu nilai, tetap relevan dengan kondisi saat ini.
Perlu saya tekankan bahwa menurut saya praktik peradilan sesat itu sudah dimulai sejak di tahap penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan, bukan hanya di pengadilan saja. Saya coba urutkan, cukup dalam setahun terakhir beberapa praktik peradilan sesat. Kasus penganiayaan yang menimpa Novel Baswedan, kasus kriminalisasi musisi Jerinx, hingga yang terbaru tuntutan ringan terhadap sebelas oknum militer yang terbukti secara jelas membunuh seseorang.
Sayangnya, praktik peradilan ini jika dilihat dengan seksama nggak lahir tiba-tiba begitu saja. Melainkan akibat sumber daya manusia atau aparaturnya yang cenderung nggak berkualitas dan nggak berintegritas. Tentu, para aparat yang seperti adalah “oknum” bukan semua orang dalam institusi tersebut. Setidaknya masyarakat pun memiliki persepsi tersendiri terhadap para aparat penegak hukum di negeri ini.
Kecewa tapi mau bagaimana lagi?
Saya akui, perasaan kecewa cukup memenuhi dada lantaran setelah sekian tahun belajar hukum dalam tataran idealita. Melihat realitas yang ada membuat semua gagasan emas nan bijak menjadi sirna begitu saja. Maka dari itu, memang lebih menyenangkan belajar hukum dari buku daripada belajar dari kenyataan.
Akan tetapi, kalau selalu menolak kenyataan bagaimana bisa berharap mampu mengubah kenyataan dan membalikan keadaan? Itulah yang saya pelajari, perasaan kecewa nggak melulu membuat diri tersungkur dan putus asa. Dalam konteks ini, perasaan kecewa inilah yang membuat saya terpantik untuk berjuang segenap hati, mempelajari dan mengamalkan ilmu hukum sebagaimana seharusnya, yaitu demi terwujudnya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
BACA JUGA Mengenal Cabin Fever, Penyebab Depresi di Kala Pandemi dan tulisan Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma lainnya.