HRD dengan sindrom god complex itu problematik.
Pekerja Indonesia dibuat pening dengan kondisi lapangan kerja terkini. Narasi soal ketersediaan 19 juta lapangan kerja bak mitos belaka. Nggak jelas juntrungnya. Padahal janji lapangan kerja begitu diharapkan oleh banyak orang.
Kenyataannya, lapangan kerja semakin sedikit. Sementara, pencari kerja terus bertambah. Kondisinya betul-betul timpang. Di tengah kesempatan yang menipis itu, pekerja Indonesia masih harus berhadapan dengan persyaratan lowongan kerja (loker) yang ada-ada saja. Belum lagi, HRD menyebalkan semakin banyak dan mudah ditemukan sekarang ini. Lihat saja kasus-kasus divisi personalia yang banyak viral di media sosial.
HRD sejatinya setara dengan pekerja lain
Entah mengapa, rasa-rasanya semakin mudah menemukan HRD menyebalkan sekarang ini. Mereka merasa dirinya paling istimewa, berkuasa, dan bisa menentukan nasib pelamar kerja. Fenomena semacam ini dikenal dengan istilah god complex. Hanya ada satu kata untuk menggambarkan pekerja semacam ini, problematik.
Jujur saja, sebagai orang yang bekerja di bidang pengelolaan sumber daya manusia, HRD dengan sindrom god complex itu mencoreng nama baik. Mereka mungkin lupa, posisi HRD sejatinya sama seperti pekerja lainnya yang membedakan hanya tugas dan wewenang.
Selain itu, di sebuah proses lamaran kerja, keputusan bagian sumber daya manusia tidaklah mutlak seperti dalam benak banyak orang. Masih ada level manajerial dan user yang juga punya hak untuk membuat keputusan. Bahkan, boleh jadi wewenangnya lebih tinggi.
Pantas dimusuhi sesama pekerja dan kantor
Kebanyakan HRD dengan sindrom god complex tidak sadar perilakunya mencoreng reputasi dan citra perusahaan. Para pelamar kerja jadi nggak percaya dengan proses perekrutan dari perusahaan. Sebab, alih-alih memberi informasi atau mengedukasi, bagian sumber daya manusia malah memilih menghakimi.
Apabila HRD dengan god complex dibiarkan, bukan tidak mungkin mereka akan dimusuhi pelamar kerja dan pekerja aktif di suatu perusahaan. Mereka tidak akan percaya lagi dengan bagian personalia.
Saya selalu percaya perkataan mantan atasan saya di kantor sebelumnya. Sejatinya, secara langsung atau tidak langsung, HRD bagian dari representasi perusahaan. Salah satu tugasnya, membantu para pekerja menemukan solusi saat ada persoalan di perusahaan. Paling tidak, menjadi jembatan yang baik bagi pekerja satu dengan lainnya. Tidak terkecuali dengan pihak yang memiliki wewenang di perusahaan.
Perlu diingat juga, saat ini, banyak perusahaan yang tegas menelusuri HRD-nya yang nyeleneh, bersikap gagah-gagahan, apalagi problematik. Jadi, para HRD, jangan merasa watak god complex kalian akan aman-aman saja. Bukan tidak mungkin watak itu yang akan membawa kalian pada pemecatan.
Dipikir-pikir, perusahaan juga nggak mau kehilangan reputasinya lewat tindakanmu yang serampangan seperti itu. Perusahaan butuh karyawan terbaik yang diproses oleh para HRD. Masalahnya, karyawan terbaik juga akan berpikir berulang kali kalau sejak awal saja HRD-nya sudah songong.
Saat ini saya bekerja di bidang HRD. Saya menyadari, saya merupakan pekerja biasa sama seperti pekerja lain. Sebagai pekerja, saya juga ogah kalau sampai berurusan dengan HRD dengan sindrom god complex yang sangat menyebalkan itu.
Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















