Membaca tulisan Mas Iqbal Haqiqi tentang HMJ di UIN Walisongo yang katanya cuma berisikan mahasiswa kosong dan caper menggugah saya untuk menulis artikel ini. Sebab yang terjadi di sana agaknya mirip dengan HMP di prodi saya, yakni Sosiologi Universitas Trunojoyo Madura (UTM).
Sebagai mahasiswa, awalnya saya menganggap ikut dalam kepengurusan ormawa (organisasi mahasiswa) bisa menambah pengalaman baru yang berharga. Lebih dari itu, saya juga akan belajar bertanggung jawab dengan kewajiban-kewajiban saya. Namun, fakta yang terjadi di HMP Sosiologi UTM ternyata berbanding terbalik. Saya rasa, HMP di sini bukan tempat yang cocok untuk dijadikan wadah pengembangan diri, bahkan kalau bisa mending dihapus saja.
Ceritanya, dulu saya sempat berkeinginan untuk menjadi pengurus HMP di prodi saya ini. Tapi setelah saya coba telusuri, saya mendengar fakta aneh tentang HMP tersebut yang bikin saya ogah daftar. Ya, fakta ini saya dengar sendiri dari keluh kesah salah satu senior saya yang sudah menjadi pengurus HMP Sosiologi UTM sebelumnya.
Daftar Isi
Seleksi pengurus HMP Sosiologi UTM tidak kompetitif
Perekrutan pengurus adalah agenda tahunan yang dilakukan organisasi segera setelah penentuan ketua, begitu juga yang terjadi di HMP Sosiologi UTM. Tapi sayangnya, sistem perekrutan di sini sangat tidak jelas, bahkan saya tidak akan mendebatnya jika ada yang bilang cuma formalitas. Sebab, yang akan diterima sudah ketahuan, ya golongan mereka-mereka saja.
Mohon maaf kalau saya mengungkapkan fakta, ya. Informasi ini saya dapatkan dari salah satu teman saya yang pernah mendaftarkan diri sebagai calon pengurus. Harusnya kan penyeleksi anggota baru adalah angkatan sebelumnya. Tapi, di sini teman saya malah diseleksi sama yang masih satu angkatan. Padahal mereka belum pernah jadi pengurus pada periode sebelumnya, tapi sudah jadi tim penyeleksi. Gila banget nggak, sih Apa mungkin di himpunan mahasiswa prodi saya ini ada Golden Ticket supaya bisa langsung jadi pengurus?
Nepotisme dipupuk sejak dini
Kalau kasusnya sudah seperti penjelasan di atas, tiada lain hasilnya tentu hanyalah nepotisme. Ya, kata ytersebut merupakan sebuah budaya yang sangat melekat di himpunan mahasiswa ini. Umumnya, syarat untuk menjadi seorang pengurus himpunan mahasiswa adalah memiliki keterampilan, wawasan luas, serta kreativitas yang tinggi. Namun, semua itu tidak ada harganya kalau di HMP Sosiologi UTM.
Menurut saya, sangat mudah untuk masuk ke dalam kepengurusan himpunan ini, asalkan kalian pintar menjilat atau menjadi bagian circle dari pengurus sebelumnya. Sayangnya saya tidak punya keterampilan seperti itu. Makanya saya tidak kaget ketika pengumuman hasil seleksi pegurus yang diterima sebagian besar adalah golongan tertentu saja. Miris sekali, ngomong anti-nepotisme paling keras, tapi mempraktikkannya sendiri berasa berat.
Merasa paling ngurusin padahal nggak ngapa-ngapain
Sama seperti beberapa universitas lain yang sering mengeluhkan fasilitas kampus, sebenarnya UTM juga memiliki masalah ini, terutama di prodi Sosiologi UTM. Ketika dosen terpaksa minta ganti jam mata kuliah tertentu, realitasnya ini sulit untuk terlaksana.
Kenapa demikian? Sebab semua ruangan di sini dipakai semua, jadi tidak ada yang tesisa. Bahkan, ruang baca (RB) yang seharusnya dijadikan sebagai ruang mencari referensi bacaan kini sudah lebih sering digunakan sebagai ruang kelas. Itupun kalau ruangannya layak, faktanya RB Sosiologi UTM sangat tidak layak, Gaes. Sudah ruangannya kecil, papannya juga mungil lagi. Hadeh!
Nah, bedanya dengan kampus lain, HMP Sosiologi UTM lebih memilih untuk konsisten diam saja tanpa ada keluhan. Mungkin karena mereka lebih suka nongkrong di luar, daripada mengikuti pembelajaran di kelas. Makanya saya cukup maklum.
Itu baru masalah fasilitas. Masalah lain tentu saja masih banyak lagi. Tapi, apa yang mau diharapkan dari kepengurusan yang isinya hanya nepotisme. Kalau nggak kolusi, paling korupsi.
Jujur, Gaes, sebagai mahasiswa Sosiologi UTM saya terkadang lupa kalau punya HMP yang seharusnya mewakili saya. Sebab, mereka sepertinya nggak pernah menyerap aspirasi dari para warga Sosiologi UTM. Saya juga jadi bingung, sebenarnya mereka selama ini ngapain saja, sih. Kalau nggak ngapa-ngapain, mending bubarin saja daripada cuma ngabisin dana prodi saya tercinta ini.
Penulis: Munaim Nabawi
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.