Nyatanya, Gudeg Jogja Terkenal dan Mahal Itu Kalah Enak Dibandingkan Gudeg Emperan Pinggir Jalan

Gudeg Jogja Pinggir Jalan Lebih Enak Dibanding yang Terkenal (Unsplash)

Gudeg Jogja Pinggir Jalan Lebih Enak Dibanding yang Terkenal (Unsplash)

Saat liburan Natal dan Tahun Baru kemarin, saudara saya mengajak saya untuk makan gudeg Jogja. Kalau wisatawan, mereka akan memburu gudeg di warung ternama. Misalnya, Gudeg Sagan, Yu Djum, dan Gudeg Bu Hj. Ahmad. 

Namun, ketika masyarakat asli Jogja mengajak makan gudeg di pinggir jalan, saat pagi atau malam, wisatawan banyak yang nggak mau. Saya mengamini fenomena yang terjadi ini. Bahwa kebanyakan, yang “bisa” menikmati gudeg terkenal, hanya wisatawan. Masyarakat lokal malah kurang berminat.

Harga gudeg Jogja yang terkenal terlalu mahal

Dulu, saat masih kuliah di Jogja, saya suka sekali makan gudeg. Namun, saya tidak bisa setiap saat bisa menikmati gudeg Jogja. Semuanya karena harga makanan khas ini lebih mahal ketimbang makan di angkringan atau warmindo. Yah, di satu sisi, saya bisa maklum karena membuat gudeg itu tidak mudah. 

Nah, suatu ketika, saat saya sedang tugas Natal dan Paskah di salah satu gereja di Jogja, panitia mendapat makan malam gudeg. Tapi, yang panitia beli bukan yang sudah terkenal. 

Lantaran penasaran, saya bertanya ke divisi konsumsi. Mengapa banyak masyarakat asli lebih suka menyukai gudeg Jogja yang di pinggir jalan dan bukan yang bermerek? Begini beberapa jawabannya.

Baca halaman selanjutnya: Yang nggak terkenal, ternyata lebih enak.

Gudeg Jogja pinggir jalan itu rasanya lebih gurih

Saya dan beberapa teman biasa menikmati gudeg Jogja di sepanjang Jalan Gejayan, Jalan Pandega Marta, dan Kotabaru. Kami suka karena gudeg di sana tidak terlalu manis, tapi lebih ke gurih. Entah ini benar atau tidak. Katanya, gudeg Jogja di pinggir jalan menggunakan bumbu yang lebih sederhana, tapi kaya rasa. Makanya malah sesuai dengan selera masyarakat lokal.

Harganya lebih terjangkau

Gudeg Jogja di pinggir jalan itu harga lebih terjangkau. Yang saya maksud di sini adalah gudeg yang dijualkan oleh masyarakat Jogja. Biasanya mereka tidak menggunakan merek tertentu. Masyarakat mengenal mereka lewat nama penjual. Misalnya, Gudeg Bu Yati, Bu Parno, Bu Pasar, dan lain sebagainya.

Para pembeli bisa membeli dengan cara menyebutkan nominal. Misalnya, pesan gudeg telur seharga Rp10 ribu. Atau kalau mau pakai ayam, cuma Rp15 ribu saja.

Nggak perlu ketemu tukang parkir

Bagi yang sudah lama tinggal di Jogja, sebenarnya sudah muak dengan keberadaan parkir liar. Sebisa mungkin kami menghindari rumah makan atau mini market yang ada tukang parkirnya. 

Bahkan jika hendak mengambil uang di ATM saja, saya selalu melihat dulu ada tukang parkirnya atau tidak. Jika ada, saya jadi malas. Maka tidak heran jika kami memilih rumah makan yang tepat bagi kami. Misalnya soal pilihan gudeg Jogja.

Beberapa tempat penjual gudeg pinggir jalan kebanyakan masih belum ada tukang parkirnya. Kalau di Jalan Gejayan, tentu saja bukan Bu Tekluk. Yang saya maksud yang hanya menuliskan nama saja dan ada tenda di pinggir jalan. Yang di pinggir jalan macam ini yang biasanya berjualan di depan toko, kebanyakan pembeli membungkus makanannya, dan tidak ada tukang parkir.

Karakter masyarakat asli Jogja

Saya mengamati kalau masyarakat Jogja pada umumnya itu terkenal sederhana. Termasuk dalam pilihan mereka menikmati kuliner tertentu. Misalnya angkringan, yang menawarkan pengalaman yang lebih akrab dan hangat. Persis dengan ciri khas mereka menyukai gudeg di pinggir jalan yang tidak terkenal, tapi enak.

Suasana sederhana seperti ini yang menjadi alasan masyarakat Jogja lebih menyukai makanan di pinggir jalan dibandingkan restoran bermerek. Restoran yang bermerek cukup bagi wisatawan saja, bukan masyarakat lokalnya. Mungkin begitu cara pandang mereka.

Itu dia 4 hal yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih gudeg Jogja. Kembali lagi, makanan itu selera masing-masing. Namun, dari pengalaman saya, itulah yang didapatkan. Selain soal harga dan rasa gurih, ada juga kesederhanaan yang menjadi gaya hidup masyarakat Jogja.

Penulis: Helena Yovita Junijanto

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 5 Rekomendasi Gudeg Emperan Murah dan Enak di Jogja

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version